Minggu, 09 Februari 2020

IMAM AL-GHAZALI BERGURU PADA PENYAMUN (Memetik Puspa Hikmah dari Patualangan Ilmiah Sang Hujjatul Islam)

Oleh : M. Khaliq Shalha


Dalam khazanah santri ada ungkapan populer: Unzhur ma qala wala tanzhur man qala (Pandanglah apa yang terucap, jangan pandang siapa yang berucap).

Ungkapan hikmah ini menekankan pada kualitas konten pembicaraan tanpa mempersoalkan siapa yang berbicara. Dalam banyak hal ungkapan ini dapat diterapkan. Dan, dalam hal tertentu harus dilihat dari kedua aspeknya; apa konten pembicaraannya dan siapa yang mengatakannya, misal, dalam periwayatan hadits tempo dulu. Apa konten (matan, teks) haditsnya (disebut Ilmu Riwayah), juga siapa yang meriwayatkannya, menyangkut hal-ihwal kualitas perawinya (disebut Ilmu Dirayah). Kedua hal itu dibutuhkan dalam periwayatan hadits untuk menjaga jaminan mutu autentisitas (keaslian) hadits dimaksud.

Kaitannya dengan ungkapan di atas--di luar ranah periwayatan hadits--dalam konteks kehidupan sehari-hari, cukup layak untuk diapresiasi dalam menemukan puspa ragam hikmah untuk kemaslahatan hidup yang berkemajuan. Dalam sabda Rasulullah SAW malah ditegaskan bahwa hikmah merupakan barang berharga yang hilang milik orang mukmin, di mana saja ia mendapatkannya, pungutlah. Bisa kita analogikan, sesuatu yang keluar dari dubur ayam kalau itu telur, ambillah. 

Ulama besar yang pernah mengambil ibrah (pelajaran) dari ungkapan penyamun (perampok) adalah Imam al-Ghazali, ulama multitalenta dalam bidang ilmu keislaman dengan 69 karya gemilangnya.

Alkisah, al-Ghazali merupakan anak dari keluarga sangat miskin, buruh kasar, tukang tenun kain wol. Sang ayah bercita-cita ingin memondokkan al-Ghazali kepada ahli agama agar ia menjadi alim. Namun cita-cita itu kandas karena ayahnya mendahului meninggal dunia. Akhirnya, al-Ghazali diasuh seorang sufi selaku teman ayahnya. Al-Ghazali disekolahkan di kampung halamannya, di Madrasah Thus, Khurasan, untuk mengenyam pendidikan dasar keagamaan.

Setelah merampungkan pendidikan di kampung halamannya, al-Ghazali melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke Madrasah Jurjan yang berjarak sekitar 250 mil dari Thus.

Dalam menempuh pendidikan ke Jurjan, al-Ghazali sering berangkat bersama-sama kafilah para pedagang agar aman dari gangguan penyamun. Terkadang ia harus menumpang tidur di serambi masjid atau terpaksa tidur di tempat terbuka. Perjalanan berat itu terus ia lalui hingga akhirnya sampai ke kota Jurjan, tempat idaman menuntut ilmu. 

Suatu waktu, al-Ghazali pulang ke Thus. Di tengah jalan ia dihadang oleh gerombolan penyamun. Mereka merampas seluruh barang bawaan al-Ghazali yang tak seberapa, sampai kantung wadah kertas dan buku-bukunya pun ikut digasak.

Al-Ghazali membujuk para penyamun itu untuk menyerahkan kantong yang berisikan kertas dan buku yang sekian lama ia gunakan untuk menulis dan belajar. Tapi, malah salah seorang penyamun menghardiknya dan melontarkan kritikan pedas: "Apa artinya pengetahuan kalau hanya tertulis dalam kertas. Ketika kertasnya hilang, pengetahuan itu ikut raib bersamanya!" Rupanya penyamun ini cerdas. Sebut saja penyamun-filsuf.

Al-Ghazali mendapat pelajaran berharga dari peristiwa itu. Ia terdorong untuk menghapal dan menjaga hapalannya. Gara-gara penyamun dan kekhawatirannya yang besar akan hilangnya kertas dan buku-bukunya kedua kali, al-Ghazali pun menghapal seluruh pelajaran di luar kepala. Kebiasaan ini tetap berlanjut ketika beliau berguru ke Imam al-Juwaini atau dikenal dengan Imam al-Haramain (karena beliau pernah belajar di Makkah Madinah), di kota Naisabur, ibu kota Khurasan.

Nah, saat itulah al-Ghazali memiliki dua wadah keilmuan secara sempurna. Di samping ia memiliki catatan lengkap, ia juga menghapal semua pelajarannya luar kepala.

Ungkapan penyamun dalam satu sisi memang benar, sejalan dengan peribahasa Arab yang juga populer di kalangan santri: "Al-'Ilmu fish shudur la fis suthur (Ilmu itu di dalam dada, bukan dalam tulisan)." Ilmu mestinya dihapal, dikuasai, bukan sekadar tertata rapi dalam buku catatan tapi tidak dikuasai.

Perlu pula diperhatikan dengan saksama peribahasa pengimbangnya yang juga populer di kalangan santri: "Al-'Ilmu shaidun wa qaiduhu al-kitabah (Ilmu itu gesit, sedangkan ikatnya adalah tulisan). Sebab, bisa saja seseorang pada waktu tertentu hapal dan menguasai materi, namun pada saat berikutnya sangat mungkin lupa. Pada saat semacam itu, buku atau catatanlah yang menyelamatkan raibnya ilmu dari seseorang.

Sekaleber al-Ghazali telah melakukan kedua-duanya dengan sempurna, yang salah satu faktornya karena disentil oleh penyamun, sebagaima kisah di atas. Jika pakar pendidikan kontemporer mengatakan bahwa hapalan itu tidak penting bagi anak didik, saya kira pernyataan itu ahistoris, dangkal, dan terlalu pragmatis.
M. Khaliq Shalha. Lokasi Foto di Stasiun Kota Baru Malang, 31 Januari 2020
Walhasil (meminjam ciri khas Ketua Umum PBNU., KH. Said Aqil Siroj), untuk menyuburkan kepakaran dan mengamankan keilmuannya, al-Ghazali menghapal-menguasai materi juga mencatatnya agar keilmuannya awet. Terbukti kepakaran al-Ghazali tertulis dengan tinta emas dalam sejarah.

Wallah a'lam bish shawab.


Sumenep, 9 Februari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar