Oleh : M. Khaliq
Shalha
A.
PENDAHULUAN
Kehidupan akan
senantiasa ditandai dengan gerak dan dinamika. Berawal dari gerak dan dinamika
itulah perubahan dan perkembangan hidup dengan beragam variannya terjadi secara
terus menerus tanpa mengenal finis. Jika perubahan dan perkembangan sebagai
akibat dari gerak dan dinamika itu tidak tampak dalam kehidupan, maka berarti
telah sirna pulalah tanda-tanda kehidupan itu sendiri. Demikianlah dalam agama,
keberadaan suatu agama akan dinilai memiliki fungsi bagi sebuah kehidupan, jika
agama dalam prakteknya terbuka ruang lebar
bagi tuntutan gerak dan dinamika kehidupan manusia sebagaimana yang
dimaksud.
Demikian juga
dalam agama Islam, pada suatu sisi ia dianggap sebagai sistem nilai yang
direkonstruksi di atas dasar-dasar norma, fondasi yang tertanam kuat dalam
batin populisme masyarakat yang memiliki hakikat kebenaran universal, namun
pada sisi lain ia meniscayakan adanya ruang dinamis yang membuatnya ia mampu
memberikan pedoman dan arahan bagi kehidupan manusia. Sebab dalam kehidupan
senantiasa memerlukan gerak dan perubahan terus-menerus dari situasi ke situasi
lain dan dari kondisi ke kondisi lain. Atas dasar itulah agama pada hakikatnya
memuat nilai-nilai normativitas dan historisitas yang saling berkelindan.
Hubungan antara keduanya adalah hubungan
yang saling tarik ulur, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Dalam agama
pasti ada pesan teks maupun konteksnya. Pola relasi keduanya adalah pola
relasionalitas yang berdialektika. Kuantitas nash ushuli (nas pokok) terbatas
adanya sementara realitas kehidupan selalu dinamis, maka meniscayakan adanya
upaya ke arah ijtihad. Produk ijtihad dari mereka yang memiliki kapasitas
tentangnya pastilah didapati suatu perbedaan (ikhtilaf). Adanya ikhtilaf
itu dilatarbelakangi di antaranya oleh kuantitas sekaligus kualitas keilmuan,
kecenderungan, sosio-kultural yang melingkupi mereka.
Tulisan sederhana
ini akan menguraikan sebab-sebab terjadinya ikhtilaf atau perbedaan
mazhab dalam hukum Islam.
B. IKHTILAF DENGAN BERBAGAI ASPEKNYA
1. Pengertian Ikhtilaf
Ikhtilaf
menurut bahasa adalah perbedaan. Berasal dari bahasa Arab yang asal katanya
adalah khalafa, yakhlufu, khilafa, mukhalafah dan ikhtalafa,
yakhtalifu, ikhtilafa yang makna keduanya, tidak adanya kecocokan. Dua
perkara berbeda apabila tidak ada kecocokan.[1]
Maknanya lebih umum dari pada al-didd (lawan), sebab setiap hal yang
berlawanan pasti akan saling bertentangan.[2]
Manusia yang sedang berdebat (berbeda pendapat) seringkali berkobar api
amarah di dadanya. Mereka saling
berbantah yang biasa disebut dengan perang mulut. Terhadap perkara seperti ini
Allah menegaskan dalam Alquran:
فَاخْتَلَفَ الأحْزَابُ
مِنْ بَيْنِهِمْ فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ مَشْهَدِ يَوْمٍ عَظِيمٍ .[3]
Maka berselisihlah
golongan-golongan (yang ada) di antara mereka. Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar.
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً
وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ .[4]
Jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa
berselisih pendapat.
إِنَّكُمْ لَفِي قَوْلٍ مُخْتَلِفٍ .[5]
Sesungguhnya kamu
benar-benar dalam keadaan berbeda pendapat.
إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا
كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ.[6]
Sesungguhnya Tuhan kamu
akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka
perselisihkan itu.
Pernyataan Allah dalam beberapa ayat
tersebut di atas sering terjadi pada diri manusia, karena ikhtilaf memang
sering kali menimbulkan perbadaan total, baik dalam ucapan, pendapat, sikap
maupun pendirian.
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara
dua atau beberapa orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu, baik berlainan
dalam bentuk tidak sama ataupun bertentangan secara diametral.[7]
Jadi, ikhtilaf adalah tidak samanya atau
bertentangannya penilaian hukum terhadap suatu obyek hukum. Ketika perbedaan
tersebut dikaitkan dengan konteks mazhab hukum Islam berarti tidak samanya atau
bertentangannya penilaian hukum terhadap suatu obyek hukum oleh masing-masing
ulama mazhab.
Ikhtilaf yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah
perbedaan pendapat di antara fukaha dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang
bersifat furu’iyah, bukan pada masalah yang bersifat ushuliyah,
disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan suatu
hukum.
2. Sebab-sebab
Timbulnya Ikhtilaf
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam,
perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum telah terjadi di kalangan para
sahabat Nabi ketika beliau masih hidup. Tetapi perbedaan pendapat itu segera
dapat dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rasulullah SAW. Setelah
beliau wafat, maka perbedaan pendapat sering timbul di kalangan sahabat dalam
menetapkan hukum kasus tertentu, misalnya Zaid ibn Tsabit, Ali, dan Ibn Mas’ud
memberikan harta warisan antara al-jadd (kakek) dan ikhwah (saudara),
sedangkan Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para saudara si mayat, jika
mereka mewarisi bersama-sama dengan kakek si mayat, karena kakek dia jadikan
seperti ayah.[8]
Perbedaan pendapat di
kalangan para sahabat Nabi itu, relatif tidak banyak jumlahnya, karena masalah
yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak yang timbul pada generasi berikutnya.
Terjadinya perbedaan
pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di samping disebabkan oleh faktor yang
bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi-segi khusus yang
bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang
pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang
sepanjang sejarah hukum Islam, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan
keras, utamanya di kalangan orang awam.
Mahmud Isma’il Muhammad
Misy’al dalam bukunya, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi fi al-Qawaid al-Mukhtalif
fiha [9]
menyebutkan ada empat sebab pokok terjadinya ikhtilaf di kalangan fukaha:
(a) Perbedaan dalam penggunaan kaidah ushuliyah dan penggunaan
sumber-sumber istinbath (penggalian) lainnya, (b) Perbedaan yang
mencolok dari aspek kebahasaan dalam memahami suatu nash, (c) Perbedaan
dalam ijtihad tentang ilmu hadis, (d) Perbedaan tentang metode kompromi hadis (al-jam’u)
dan mentarjihnya (al-tarjih) yang secara zahir maknanya bertentangan.
Sedangkan Muhammad al-Madani
dalam bukunya, Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha, sebagaimana dikutip Huzaemah,[10]
membagi sebab-sebab ikhtilaf menjadi empat macam juga, yaitu: (a)
Pemahaman Alquran dan Sunnah Rasulullah, (b) Sebab-sebab khusus tentang Sunnah
Rasulullah, (c) Sebab-sebab yang berkenaan dengan kaidah-kaidah ushuliyah,
(d) Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar Alquran dan
Sunnah Rasulullah SAW.
Sebab-sebab yang
dikemukakan dua ulama tersebut tidak jauh berbeda, demikian juga dalam buku
lain yang penulis sempat baca.[11]
Penulis akan menspesifikkan penjelasan sebab-sebab ikhtilaf tersebut
sebagai berikut:
a.
Pemahaman Alquran dan Sunnah
Sebagaimana kita maklumi bahwa sumber utama syariat
Islam adalah Alquran dan Sunnah Rasul. Keduanya berbahasa Arab. Di antara
kata-katanya ada yang memiliki arti lebih dari satu (musytarak). Selain
itu, dalam ungkapannya terdapat kata
umum tetapi yang dimaksudkan khusus. Ada pula perbedaan perspektif dari
aspek lughawi (kebahasaan) dan ‘urfi (tradisi) serta dari segi manthuq,
mafhum dan lainnya.
Berikut ini akan
dikemukakan contoh mengenai kata musytarak dalam nas Alquran yang
meimbulkan ikhtilaf:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ .[12]
Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Sebagian ulama menafsiri kata quru’ dengan suci, sedangkan yang lain menafsiri haid. Dengan
demikian, ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa wanita yang ditalak harus beridah
dengan tiga kali suci, sedangkan kalangan ulama Hanafiyah dengan tiga kali
haid.[13]
Selanjutnya akan
dikemukakan contoh pemahaman terhadap Sunnah terkait dengan isinya yang umum
dan khusus.
Perbedaan pendapat di
kalangan ulama tentang nisab zakat pertanian. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa
setiap jenis hasil pertanian yang sedikit atau banyak wajib dikeluarkan
zakatnya berdasarkan pada keumuman suatu hadis:[14]
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ أَوْ
كَانَ عثريا اَلْعُشُرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشُرِ.[15]
Sesuatu (hasil pertanian) yang pengairannya dengan air
hujan, air sumber atau menyerap air hujan, zakatnya sepersepuluh, sedangkan
yang diairi dengan jasa unta zakatnya setengah dari sepersepuluh.
Sedangkan pendapat jumhur fukaha berbeda dengan
pendapat Imam Abu Hanifah tersebut bahwa hasil pertanian yang tidak mencapai
satu nisab tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Satu nisab adalah lima awsaq (± 300
gantang). Mereka berhujah bahwa hadis tersebut dikhususkan dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi SAW
bersabda:
Sesuatu yang kurang dari lima awsaq
tidak wajib zakat.
Golongan Hanafi menakwili bahwa hadis ini tertuju pada
zakat harta perdagangan, bukan pertanian.[17]
b.
Sebab-sebab Khusus Mengenai
Sunnah Rasul
Sebab-sebab khusus
mengenai Sunnah Rasul yang menonjol antara lain: (1) Perbedaan dalam penerimaan
hadis; sampai atau tidaknya suatu hadis kepada sebagian sahabat, (2) Perbedaan
dalam menilai periwayatan hadis, (3) Perbedaan mengenai kedudukan kepribadian
Rasul.
1) Perbedaan
dalam Penerimaan Hadis
Para sahabat yang
menerima dan menyampaikan hadis, kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak
menghadiri majis Rasul, tentunya mereka inilah yang banyak menerima hadis
sekaligus meriwayatkannya. Tetapi bayak pula di antara mereka yang sibuk dengan
urusan-urusan pribadinya, sehingga jarang menghadiri majlis Rasul, padahal
dalam majlis itulah Rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau
menjelaskan hukum sesuatu; memerintah atau melarang dan menganjurkan sesuatu. Contoh
mengenai ini sebagai berikut:
بَلَغَ عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَأْمُرُ
النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ
Aisyah mendengar
bahwa Abdullah ibn Umar memberi fatwa bahwa wanita yang mandi janabah hendaknya
membuka (mengudar) sanggulnya.
Setelah mendengar
fatwa ini Aisyah merasa heran dan berkata:
فَقَالَتْ يَا عَجَبًا لاِبْنِ عَمْرٍو هَذَا يَأْمُرُ النِّسَاءَ
إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ
أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُءُوسَهُنَّ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا
وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَلاَ أَزِيدُ عَلَى
أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِى ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ. [18]
Aisyah berkata, “Sungguh
aneh Ibn Umar ini memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi janabah untuk
mengudar sanggul. Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk
mencukur rambutnya saja? Sesungguhnya aku pernah mandi bersama Rasulullah SAW
dari satu bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga
siraman.
Contoh kasus pada
kalangan ulama mujtahid, yaitu tentang Abu Hanifah dan kawan-kawannya dalam
memutuskan suatu hukum. Ada suatu cerita dari Abdul Warits ibn Sa’id: Pada
suatu waktu saya berada di Makkah bertemu dengan Abu Hanifah, Ibn Abi Laila dan
Ibn Syabramah. Saya berkata kepada Abu Hanifah: “Bagaimana pendapatmu tentang
orang menjual sesuatu dengan syarat tertentu?’’ Abu Hanifah menjawab: “Jual belinya batal dan syaratnya juga batal.”
Kemudian saya bertanya kepada Ibn Abi Laila lalu ia menjawab: “Jual belinya sah
dan syaratnya batal.’’ Kemudian saya bertanya kepada Ibn Syabramah lalu ia
menjawab: “Jual belinya sah dan syaratnya juga sah.’’ Lalu saya berucap: “Subhanallah!
Tiga fukaha Irak berbeda pendapat begitu tentang satu masalah.’’
Saya kembali kepada mereka, menanyakan alasan mereka
masing-masing. Abu Hanifah berkata: “Aku tidak tahu apa alasan mereka berdua,
yang jelas saya menerima hadis dari Amr ibn Syu’ab dari ayahnya dari kakeknya
bahwa Nabi SAW melarang jual beli bersyarat; jual belinya batal syaratnya juga
batal.
Saya kembali kepada Ibn Abi Laila menginfokan tentang
itu, dia berkata: “Aku tidak tahu alasan mereka berdua, namun yang jelas aku
menerima hadis dari Hisyam ibn Urwah dari bapaknya dari Aisyah ia berkata, ‘Aku
pernah disuruh Rasulullah membeli budak dan ada syarat dari keluarganya supaya
nanti dimerdekakan, maka Nabi SAW membatalkan syarat itu dan meneruskan jual
itu.’ Jadi jual beli itu sah dan syaratnya batal.”
Kemudian saya mendatangi Ibn Syabramah mengabarkan
tentang hal itu, ia berkata: “Aku tidak tahu alasan mereka berdua, aku pernah
mendengar tentang hadis Jabir bahwa ia
pernah menjual unta kepada Nabi SAW lalu beliau mensyaratkan agar unta itu
dibawakannya ke Madinah. Berarti jual beli itu sah dan syarat juga sah.”[19]
2)
Perbedaan dalam Menilai Periwayatan
Hadis
Perbedaan pendapat di kalangan fukaha terkait dengan hadis dari berbagai
segi. Perbedaan itu terjadi setidak-tidaknya ada tiga sebab.[20]
Pertama, perbedaan mereka tentang keterbatasannya dalam memiliki
kuantitas koleksi hadis secara penuh, sebagaimana contoh di atas. Sebagaimana
kita maklum bahwa tidak semua tokoh-tokoh sahabat Nabi selalu mengetahui
terhadap semua apa yang disabdakan Nabi pada suatu waktu. Kedua,
perbedaan mereka dalam memberi penilaian terhadap kualitas suatu hadis. Ketiga,
perbedaan mereka dalam menerima-tidaknya terhadap kualitas hadis daif.
3) Perbedaan
tentang Kedudukan Rasulullah SAW
Rasulullah SAW di samping
keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa. Karena itu, tindakan
dan ucapan yang dilakukan beliau tidak sama kedudukannya kalau dikaitkan dengan
keberadaan pribadinya ketika melakukannya. Misalnya mengenai hadis berikut:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِىَ لَهُ .[21]
Barangsiapa menggarap tanah tak bertuan, maka dialah
pemiliknya.
Mengenai hadis ini ulama berbeda pendapat tentang
apakah hal itu dinyatakan oleh Rasul sebagai kepala negara. Jika demikian,
tidak setiap kepemilikan tanah yang belum ada pemiliknya itu secara otomatis
menjadi miliknya, melainkan harus melalui prosedur yang berlaku pada waktu itu
dan pada negara di mana orang itu hidup. Sebaliknya, jumhur fukaha memandang
hadis yang dinyatakan Rasul itu dalam kedudukannya sebagai Rasul, berpendapat
bahwa kepemilikan tanah mati itu tidak lagi harus melalui prosedur-prosedur
negara tertentu, tetapi secara otomatis menjadi milik penggarap.[22]
c.
Sebab-sebab Berkenaan dengan Kaidah
Ushuliyah
Kaidah ushuliyah
merupakan metodologi hukum Islam yang digunakan oleh ulama untuk menggali suatu
hukum pada abad kedua hijriyah. Keberadaannya efektif untuk menghasilkan suatu
produk hukum. Metodologi ini digagas oleh Imam Syafii, bermula dari sebuah
inspirasi setelah beliau menelaah keilmuan yang diwarisi oleh para sahabat
Nabi, tabiin dan ulama fikih sebelumnya, terutama ketika adanya persinggungan
yang dinamis antara model fikih Madinah yang diperoleh dari Imam Malik dengan
fikih Irak yang diperoleh dari Imam Ibn Al-Hasan, demikian juga fikih Makkah
yang beliau pernah hidup dan bermukim di situ. Hal itulah yang melatarbelakangi
Imam Syafii mengadakan standarisasi untuk mengetahui mana yang benar dan mana
yang salah. Standarisasi itulah yang disebut ushul fiqh[23]
(usul fikih).
Sejarawan, seperti Ibn
Khaldun mencatatat bahwa orang pertama kali yang mengkodifikasi ilmu usul fikih
adalah Imam Syafii. Sebelum Imam Syafii tidak didapati secara
jelas di kalangan ulama mujtahid adanya model penggunaan usul fikih dalam ijtihad mereka, artinya mereka tidak
mempublikasikan model usul fikih yang mereka gunakan dalam berijtihad.
Imam Syafiilah satu-satunya orang yang memulainya dan memiliki pengaruh setelah
itu sehingga banyak bermunculan kitab-kitab usul fikih di tataran
mazhab-mazhab yang ada dengan sistematika penulisannya menurut perkembangan
zaman. Banyak dari kalangan peneliti berpendapat bahwa usul fikih kalangan
Hanafi berpijak pada apa yang digagas Imam Syafii.[24]
Berikut akan dikemukakan
contoh ikhtilaf di kalangan ulama dalam memahami suatu teks berdasarkan
metode mereka masing-masing:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ
لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا
تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ .[25]
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka itulah orang-orang yang
fasik.
إِلا الَّذِينَ
تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ .[26]
Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan
memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Dari surat An-Nur
ayat ke-4 itu dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi orang yang menuduh zina
tanpa membuktikan dengan empat orang saksi adalah : (a) dera 80 kali, (b)
dicabut haknya untuk menjadi saksi apapun, (c) orang itu dinyatakan fasik.
Sedangkan ayat ke-5 mengkhususkan dengan pengecualian ayat ke-4 itu. Para ulama
berbeda pendapat tentang cakupan pengecualian itu. Mayoritas ulama memahami
pengecualian itu menyangkut ketiganya, hanya saja karena ayat ini menyatakan sesudah
itu dan yang dimaksud adalah sesudah pemcambukan, maka pengecualian itu
hanya mencabut sanksi b dan c. Dengan demikian, apabila terbukti
dia bertaubat dan melakukan perbaikan, maka kesaksiannya dapat diterima dan dia
tidak lagi wajar dinamai fasik.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengecualian itu
hanya tertuju kepada yang terakhir disebut, walau dia bertaubat dan berbuat
baik, kesaksiannya tetap tidak dapat diterima. Sanksi pencambukan yang disebut
di sini, ada yang memahaminya—antara lain Abu Hanifah—sebagai hak Allah.
Sehingga yang dicemarkan nama baiknya tidak berhak memaafkan dan yang
bersangkutan tetap harus dicambuk. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafii
menilainya hak yang dicemarkan namanya, sehingga bila ia memaafkan maka
gugurlah pencambukan itu.[27]
d. Perbedaan Penggunaan Dalil di
Luar Alquran dan Sunnah
Perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih juga
disebabkan perbedaan penggunaan dalil di luar Alquran dan Sunnah, seperti amal
ahli madinah, dijadikan dasar fikih oleh Imam Malik, tidak dijadikan dasar
oleh Imam yang lain. Begitu pula perbedaan dalam penggunaan ijmak, kias,
istislah, istihsan, sad adz-dzari’ah, tradisi dan sebagainya,
yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar, sedangkan sebagian ulama yang lain
tidak menjadikannya dasar dalam menggali hukum.
3. Hikmah Adanya Ikhtilaf
dan Implementasinya dalah Kehidupan Masyarakat
Khilafiah dalam hukum Islam merupakan khazanah.
Bagi orang yang memahami watak-watak kitab fikih yang memuat masalah-masalah
yang diperselisihkan hukumnya, sering menganggap bahwa fikih itu sebagai
pendapat pribadi yang ditransfer ke dalam agama. Padahal jika mereka mau
mengkaji secara mendalam, pasti mereka menemukan bahwa ketentuan hukum Islam
itu bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Ikhtilaf merupakan suatu hal
yang lumrah dalam dunia fikih, sehingga benar apa yang dikatakan Qatadah:
“Barangsiapa tidak mengetahui ikhtilaf maka hudungnya belum pernah mencium
bau fikih’’, Hisyam Ar-Razi juga mengatakan: “Barangsiapa tidak mengetahui
perselisihan fukaha, maka ia bukan ahli fikih.’’[28]
Fikih sebagai hasil ijtihad ulama dan tidak lepas
dari sumbernya, yaitu Alquran dan Sunnah, otomatis akan mengandung keragaman
hasil ijtihad itu. Namun demikian, nampak pada jati diri ulama mazhab adanya
sikap sportif dan toleran apabila dihadapkan pada fenomina tersebut, serta
tetap konsisten kepada prinsip firman Allah bahwa apabila terjadi perselisihan
hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
4. Tujuan Mengetahui
Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat para imam mazhab sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari
taklid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan
serta jalan pemikiran mereka dalam
penetapan hukum suatu masalah. Dengan demikian, akan terbuka kemungkinan untuk
memperdalam kajian tentang hal yang diperselisihkan, meneliti sistem dan cara
yang baik dalam menggali suatu hukum, juga dapat mengembangkan kemampuan dalam
hukum fikih bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.
C. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa ikhtilaf adalah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam
dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyah, bukan
pada masalah yang bersifat ushuliyah, disebabkan perbedaan pemahaman
atau perbedaan metode dalam menetapkan suatu hukum.
Fikih sebagai hasil ijtihad, otomatis akan
mengandung keragaman hasil ijtihad itu. Namun demikian, nampak pada jati diri
ulama mazhab adanya sikap sportif dan toleran apabila dihadapkan pada fenomina
tersebut, serta tetap konsisten kepada prinsip firman Allah bahwa apabila
terjadi perselisihan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat para imam mazhab sangat penting untuk mengetahui dalil-dalil yang
mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu
masalah. Sehingga akan terbuka kemungkinan meneliti sistem dan cara yang baik
dalam menggali suatu hukum, juga dapat mengembangkan kemampuan dalam bidang fikih
bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.
Wallah a’lam bish shawab.
*****
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh.
Kairo: Dar al-Fikr
al-Arabi, 1997.
al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Shahih
al-Bukhari, Juz 2. Beirut:
Dar ibn Katsir, 1987.
Ibn Al-Hajjaj, Abu Al-Husain Muslim, Shahih Muslim, Juz 1. Beirut: Dar al-Jail, tt.
Ibrahim, Muslim, Pengantar Fiqh
Muqaaran. Jakarta:
Erlangga, 1991.
Misy’al,
Mahmud Isma’il Muhammad, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi fi al-Qawaid al-Mukhtalif
fiha. Kairo: Dar As-Salam, 2007.
Salam Madkur, Muhammad, al-Ijtihad
fi at-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar an-Nahdhah al-Mishriyah, 1984.
Shihab, M. Quraish, Tafsir
Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 9. Jakarta: Lentera Hati,
2002.
as-Sijistani, Abu Daud Sulaiman
ibn al-Asyats, Sunan Abi Daud, Juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, tt.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar
Perbandingan Mazhab. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999.
*****
Sumenep, 15 September 2014
[1] Mahmud
Isma’il Muhammad Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi fi al-Qawaid al-Mukhtalif
fiha. (Kairo: Dar as-Salam, 2007), 43.
[2] Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab. (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 47.
[3] Alquran, 19 (Maryam): 37.
[8] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi,
59.
[9] Ibid., 91.
[10] Ibid.,
51.
[11] Lihat
misalnya Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran. (Jakarta: Erlangga,
1991), 21.
[12]
Alquran, 2 (al-Baqarah): 228.
[13]
Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 99-100.
[14] Ibid.,
102.
[15]
Muhammad ibn Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 2. (Beirut: Dar
ibn Katsir, 1987), 540.
[16] Ibid.,
540.
[17]
Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 103.
[19]
Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 108.
[20] Ibid.,
106.
[21] Abu Daud Sulaiman ibn al-Asyats
As-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz 3. (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, tt), 143.
[23]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997), 14.
[24] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 94.
[25] Alquran, 24 (An-Nur): 4.
[26] Ibid., : 5.
[27] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume
9. (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), 289-290.
[28]
Muhammad Salam Madkur, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami. (Kairo: Dar
An-Nahdhah al-Mishriyah, 1984), 111.
Catatan : Makalah di atas boleh disalin tempel dengan syarat memperhatikan kejujuran intelektual (mencantumkan sumber dari blog ini, m-khaliq-shalha.blogspot.com/2014/09/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-mazhab.html)
Catatan : Makalah di atas boleh disalin tempel dengan syarat memperhatikan kejujuran intelektual (mencantumkan sumber dari blog ini, m-khaliq-shalha.blogspot.com/2014/09/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-mazhab.html)
terimaksih
BalasHapuscukup membantu
Syukran
Hapusjazakallah.. sangat membantu. semoga Allah memberkahi ilmunya aamiin.
BalasHapusAmin
HapusSemiga ada kesempatan
BalasHapusSemoga ada kesempatan
BalasHapus