Senin, 06 Mei 2019

LIBURAN RAMADHAN 1440 H ( Catatan Tafsir Jalan Raya; Antara Kelucuan dan Kepiluan )


Di Bus Akas NR Patas
Menurut seorang ulama, sebagaimana dikutip oleh al-Ghazali dalam Ihya’Ulumiddin bab Safar dikatakan bahwa safar ibarat air yang mengalir, airnya akan jernih. Begitulah gambaran kejiwaan manusia. Sewaktu-waktu manusia butuh nuansa baru di liur rumah, di tempat lain untuk menghilangkan kepenatan setelah berjibaku dengan kegiatan sehari-hari.

Bulan Ramadhan 1440 H / 2019 M ini, istri dan anak saya berkomitmen berlibur di ramah mertua, di Keting, Jombang, Jember. Memanfaatkan liburan madrasah sebulan suntuk. Ahad, 5 Mei 2019 diagendakan berangkat dari rumah menuju Jember. Satu hari menjelang puasa Ramadhan.

Pukul 06.45 WIB kami siap di pinggir jalan raya menunggu bus Akas NR Patas. Kami sudah tertinggal beberapa menit saja dari bus incaran saya, Pelita Mas Non Ekonomi yang biasanya jadwalnya pukul 06.30 WIB. Ketahuilah olehmu (i’lam) bahwasanya istilah Non Ekonomi sebutan lain dari Patas untuk memberi kesan lain kepada penumpang, khususnya masyarakat Madura yang lazimnya enggan untuk naik bus Patas karena terkesan mahal. Itulah tafsir saya. Jika ada bus Patas akan lewat, calon penumpang segera menyembunyikan tangannya ke belakang khawatir menyetopnya atau bahkan bersembunyi di sebelah pohon asam besar peninggalan Belanda yang menjadi perindang di sepanjang jalan nasional di perbatasan Sumenep-Pamekasan. Tarif Patas dan Non Ekonomi rata-rata sama. Hanya untuk Pelita Mas Non Ekonomi asal Kota Malang ini tarifnya lebih murah sedikit daripada Akas NR Patas asal Medaeng, Waru, Sidoarjo, selisih Rp5.000; Prenduan (Sumenep)–Surabaya tarifnya Rp55.000 bagi Pelita Mas versus Rp60.000 bagi Akas. Fasilitasnya sama-sama bagus. Dentuman mesinnya sama-sama halus. Hanya saja bus-bus lain kalah tenar pada Akas bagi masyarakat Madura. Sehingga sepertinya semua bus mereka sebut Akas; Akas = bus. Padahal bus yang masuk ke Pulau Garam Madura banyak macamnya: Akas, Damri, Pelita Mas, Mila, Karina, Pahala Kencana, Kramat Jati, Haryanto, Madu Kismo, Gunung Arta dan Kemenangan. Lain lagi bus-bus pariwisata.

Menjelang pukul 07.00 bus Akas datang dari arah timur. Oh, bukan patas! Bus biasa dan tak ber-AC. Saya lambaikan tangan sebagai bentuk respons yang sopan untuk tidak ikut. Pukul 07.00 Akas NR Patas yang berwarna ke-oren-orenan ngumbar dari arah timur. Oh, ini dia yang saya tunggu-tunggu! “Siap-siap …,” kataku pada anak dan istri. Pun, barang-barang bawaan siap dijinjing masuk ke atas. 
Satu hari menjelang puasa, penumpang dari Sumenep-Surabaya relatif sepi, tapi bus ini masih beruntung karena sampai di Bangkalan kursi bus ini relatif full dari penumpang. Berhubung penumpang relatif sepi, maka laju bus ini sangat lambat. Mengulur-ulur waktu untuk mendapatkan penumpang. Mirip dalam permainan sepak bola bagi pihak lawan yang unggul golnya. Palaangan (baratnya Prenduan)-Surabaya ditempuh 4 (empat) setengah jam, itu sudah bus kelas Patas. Biasanya 3 (jam) sudah sampai. Maka, jika ada rumus Patas = cepat, rumus itu tak selamanya benar. Dari pengalaman saya itu, rumus tersebut sama sekali jauh dari dugaan. Bisa tak berlaku di Pulai Madura. Istri saya mengeluh dengan kelambatan ini. Bayar mahal-mahal masih lambat juga.

Saya memakluminya, apapun kelas kendaraannya, semua pengusaha transportasi tidak mau rugi gara-gara sepi penumpang. Mestinya peribahasa yang dipakai bus kelas Patas, biar cepat asal selamat menjadi biar lambat asal selamat. Kami tak mendapatkan layanan cepat, cuma dapat fasilitas tempat duduk lembut, ruangan bersih ber-AC dan dentuman mesinnya halus. Pilihan saya pada Patas untuk mendapatkan fasilitas memuaskan, karena istri dan anak pertama saya, Ana Zakiyatun Nisak tidak hobi naik bus karena rawan mabuk, kecuali anak saya yang kedua, M. Zaim Muttaqin, rupanya ia hobi dan tangguh nge-bus seperti saya. Bagi anak saya yang kedua, naik bus masih baru pertama kalinya, dan sepanjang perjalanan riang gemberi dan ada saja yang mau dikerjakan, dari simulasi jual-jualan sampai mengelus-elus bulu betisnya bule di depan tempat duduknya di bus Tjibto Patas Surabaya-Jember.

Menjalang pukul 12.00 kami istirahat sebentar di terminal terbesar Jawa Timur, Bungurasih alis Purabaya. Menyusun kekuatan pindah armada untuk meneruskan perjalanan. Dari ruang tunggu kulihat bus Tjipto Patas jurusan Jember siap-siap berangkat. Ayo ke sana!

Jtipto Patas milik PO. Kemenangan Tjibto asal Jl. Kaca Piring No. 30 Gebang, Jember ini berangkat pukul 12.20 Surabaya-Jember. Menyusuri tol panjang Sidoarjo-Probolinggo yang baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo memiliki kenyamatan tersendiri. Sidoarjo-Probolinggo ditempuh begitu cepat, sekitar 1 jam setengah. Inilah pengalaman pertama kali saya. Di sepanjang perjalanan, seakan-akan saya sedang bermimpi lewat di jalan tol baru ini, padahal itu adalah kenyataan. Yang saya lewati hanya sampel infrastruktur yang sudah dibangun pemerintah dari sekian banyak dan sekian panjang jalan tol di  berbagai daerah di Indonesia. Salut pada kinerja Pemerintah. Insya Allah Indonesia akan menjadi negara maju dalam waktu dekat. Pembangunan infrastruktur dalam berbagai bidang memang dinyinyiri oleh sebagian rakyat Indonesia. Maklumlah, Indonesia masih tergolong negara berkembang yang indikasinya, di antaranya, SDM sebagian rakyatnya juga masih kelas menengah, belum maju. Ciri-cirinya banyak nyinyir, hobi mengkritik, bangga berkomentar negatif terhadap upaya pemerintah untuk memajukan negara tercinta ini. Semoga saja kemajuan Indonesia tidak terhambat oleh nyinyiran rakyat Indonesia sendiri. Tidak Al-Indonesia mahjubun bil indonesiyin.
Bus Tjipto Patas. Di depan anak saya ada 2 bule 
Tol Sidoarjo-Probolinggo tembus di dekat terminal bus Probolinggo. Bus yang saya tumpangi parkir beberapa menit. Ruangan bus diramaikan oleh pedagang asongan yang lalu lalang dan silih berganti dari pedagang krupuk, minuman, pentol hangat, jagung rebus, topi dan lainnya. Di dekat saya duduk sepasang bule suami istri. Entah, bule itu dari mana. Sekan-akan orang Arab atau orang Eropa. Si istri berjilbab. Ketika pedang asongan mulai sepi, datang seseorang menjajakan topi menghampiri penumpang pada tiap kursi, termasuk bule. “Mister, head hot,” rayunya penuh meyakinkan dan sarat ekspresi dengan menggerakkan tangannya ke atas. Si bule menolaknya sambil senyum. Saya malah ngakak bersama penumpang yang lain mendengar perkataan si penjual topi itu: “Mister, head hot” itu. Si penjual topi malah juga tertawa sambil menjelaskan ucapannya itu dengan menggunakan Bahasa Madura merespons gelak tawa saya yang paling nyaring. “Kan, pender, head cetak, hot panas. Mon terro ta’ panasah cetaka nganggui songkok (Benar kan, head itu kepada dan hot itu panas. Supaya kepalanya tidak kepanasan, maka pakailah topi).” Kata yang simple padat memang kadang butuh ditafsiri agar orang lain tahu maksudnya.
Terminal Probolinggo
Suatu hal yang penting dikritisi dari kaca mata penumpang tentang pemberlakuan tarif patas yang pukul rata antara jarak maksimal dan jarak mininal. Surabaya-Probolinggo Rp35.000 dan Probolinggo-Jember Rp35.000, sedangkan Surabaya-Jember Rp70.000. Saya beli jasa 3 kursi Surabaya-Wonorejo, Lumajang. Per orang kena Rp70.000, semuanya Rp210.000. Tarif Surabaya-Wonorejo berarti sama dengan Surabaya-Jember, padahal Wonorejo dengan Jember jarak tempuhnya amat jauh. Jadi, tidak ada toleransi keringan ongkos yang menurut saya pemberlakuan semacam itu ada unsur kezaliman terselubung pada penumpang. Terkesan muamalat yang tidak syar’i. Kalau dipikir ulang, jauh lebih fair pemberlakuan ongkos yang dijalani pengusaha bus tarif regular. Penumpang membayar sesuai jarak tempuh yang diinginkan, tidak dipukul rata seperti halnya pemberlakuan Patas di atas. Karena dalam hati kecil para penumpang pasti perucap, Anda puas saya sekarat. Jika ada pihak yang merasa keberatan, berarti muamalat secam itu kurang berkah dalam kaca mata tasawuf.

Untuk sampai ke Keting, Jombang, Jember, saya harus ganti bus jurusan Kencong, Jember. Pada jalur bagian selatan Jember ini rata-rata busnya hampir tua renta, dan sependek pengetahuan saya tidak ada Patas lewat jalur ini. Mungkin karena di jalur ini penumpang relatif sepi. Bagi saya kelas apa pus busnya tidak masalah, karena yang terpenting sampai pada tujuan. Azan Asar saya sudah berada di bus pada koridor Wonorejo-Kencong. Perkiraan saya waktu masih di Surabaya akan sampai menjelang Magrib. Ternyata dengan adanya tol sebagaimana saya sebutkan di atas sangat mempercepat perjalanan. Sekitar pukul 15.30 sudah tiba di rumah mertua.


Jember, 6 Mei 2019 M / 1 Ramadhan 1440 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar