Di Bus Akas NR Patas |
Bulan Ramadhan 1440
H / 2019 M ini, istri dan anak saya berkomitmen berlibur di ramah mertua, di
Keting, Jombang, Jember. Memanfaatkan liburan madrasah sebulan suntuk. Ahad, 5
Mei 2019 diagendakan berangkat dari rumah menuju Jember. Satu hari menjelang
puasa Ramadhan.
Pukul 06.45 WIB kami
siap di pinggir jalan raya menunggu bus Akas NR Patas. Kami sudah tertinggal beberapa
menit saja dari bus incaran saya, Pelita Mas Non Ekonomi yang biasanya
jadwalnya pukul 06.30 WIB. Ketahuilah olehmu (i’lam) bahwasanya istilah Non
Ekonomi sebutan lain dari Patas
untuk memberi kesan lain kepada penumpang, khususnya masyarakat Madura yang
lazimnya enggan untuk naik bus Patas karena terkesan mahal. Itulah tafsir saya.
Jika ada bus Patas akan lewat, calon penumpang segera menyembunyikan tangannya
ke belakang khawatir menyetopnya atau bahkan bersembunyi di sebelah pohon asam
besar peninggalan Belanda yang menjadi perindang di sepanjang jalan nasional di
perbatasan Sumenep-Pamekasan. Tarif Patas dan Non Ekonomi rata-rata sama. Hanya
untuk Pelita Mas Non Ekonomi asal Kota Malang ini tarifnya lebih murah sedikit
daripada Akas NR Patas asal Medaeng, Waru, Sidoarjo, selisih Rp5.000; Prenduan
(Sumenep)–Surabaya tarifnya Rp55.000 bagi Pelita Mas versus Rp60.000 bagi Akas.
Fasilitasnya sama-sama bagus. Dentuman mesinnya sama-sama halus. Hanya saja
bus-bus lain kalah tenar pada Akas bagi masyarakat Madura. Sehingga sepertinya
semua bus mereka sebut Akas; Akas = bus. Padahal bus yang masuk ke Pulau Garam
Madura banyak macamnya: Akas, Damri, Pelita Mas, Mila, Karina, Pahala Kencana,
Kramat Jati, Haryanto, Madu Kismo, Gunung Arta dan Kemenangan. Lain lagi
bus-bus pariwisata.
Menjelang pukul
07.00 bus Akas datang dari arah timur. Oh, bukan patas! Bus biasa dan tak
ber-AC. Saya lambaikan tangan sebagai bentuk respons yang sopan untuk tidak
ikut. Pukul 07.00 Akas NR Patas yang berwarna ke-oren-orenan ngumbar dari arah timur. Oh, ini dia
yang saya tunggu-tunggu! “Siap-siap …,” kataku pada anak dan istri. Pun,
barang-barang bawaan siap dijinjing masuk ke atas.
Satu hari menjelang
puasa, penumpang dari Sumenep-Surabaya relatif sepi, tapi bus ini masih
beruntung karena sampai di Bangkalan kursi bus ini relatif full dari penumpang.
Berhubung penumpang relatif sepi, maka laju bus ini sangat lambat. Mengulur-ulur
waktu untuk mendapatkan penumpang. Mirip dalam permainan sepak bola bagi pihak
lawan yang unggul golnya. Palaangan (baratnya Prenduan)-Surabaya ditempuh 4
(empat) setengah jam, itu sudah bus kelas Patas. Biasanya 3 (jam) sudah sampai.
Maka, jika ada rumus Patas = cepat,
rumus itu tak selamanya benar. Dari pengalaman saya itu,
rumus tersebut sama sekali jauh dari dugaan. Bisa tak berlaku di Pulai Madura.
Istri saya mengeluh dengan kelambatan ini. Bayar mahal-mahal masih lambat juga.
Saya memakluminya,
apapun kelas kendaraannya, semua pengusaha transportasi tidak mau rugi
gara-gara sepi penumpang. Mestinya peribahasa yang dipakai bus kelas Patas, biar cepat asal selamat menjadi biar lambat asal selamat. Kami tak
mendapatkan layanan cepat, cuma dapat fasilitas tempat duduk lembut, ruangan
bersih ber-AC dan dentuman mesinnya halus. Pilihan saya pada Patas untuk
mendapatkan fasilitas memuaskan, karena istri dan anak pertama saya, Ana
Zakiyatun Nisak tidak hobi naik bus karena rawan mabuk, kecuali anak saya yang
kedua, M. Zaim Muttaqin, rupanya ia hobi dan tangguh nge-bus seperti saya. Bagi
anak saya yang kedua, naik bus masih baru pertama kalinya, dan sepanjang
perjalanan riang gemberi dan ada saja yang mau dikerjakan, dari simulasi jual-jualan
sampai mengelus-elus bulu betisnya bule di depan tempat duduknya di bus Tjibto
Patas Surabaya-Jember.
Menjalang pukul
12.00 kami istirahat sebentar di terminal terbesar Jawa Timur, Bungurasih alis
Purabaya. Menyusun kekuatan pindah armada untuk meneruskan perjalanan. Dari
ruang tunggu kulihat bus Tjipto Patas jurusan Jember siap-siap berangkat. Ayo
ke sana!
Jtipto Patas milik
PO. Kemenangan Tjibto asal Jl. Kaca Piring No. 30 Gebang, Jember ini berangkat
pukul 12.20 Surabaya-Jember. Menyusuri tol panjang Sidoarjo-Probolinggo yang
baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo memiliki kenyamatan tersendiri.
Sidoarjo-Probolinggo ditempuh begitu cepat, sekitar 1 jam setengah. Inilah
pengalaman pertama kali saya. Di sepanjang perjalanan, seakan-akan saya sedang
bermimpi lewat di jalan tol baru ini, padahal itu adalah kenyataan. Yang saya lewati
hanya sampel infrastruktur yang sudah dibangun pemerintah dari sekian banyak
dan sekian panjang jalan tol di berbagai
daerah di Indonesia. Salut pada kinerja Pemerintah. Insya Allah Indonesia akan
menjadi negara maju dalam waktu dekat. Pembangunan infrastruktur dalam berbagai
bidang memang dinyinyiri oleh sebagian rakyat Indonesia. Maklumlah, Indonesia
masih tergolong negara berkembang yang indikasinya, di antaranya, SDM sebagian
rakyatnya juga masih kelas menengah, belum maju. Ciri-cirinya banyak nyinyir,
hobi mengkritik, bangga berkomentar negatif terhadap upaya pemerintah untuk
memajukan negara tercinta ini. Semoga saja kemajuan Indonesia tidak terhambat
oleh nyinyiran rakyat Indonesia sendiri. Tidak Al-Indonesia mahjubun bil indonesiyin.
Tol
Sidoarjo-Probolinggo tembus di dekat terminal bus Probolinggo. Bus yang saya
tumpangi parkir beberapa menit. Ruangan bus diramaikan oleh pedagang asongan
yang lalu lalang dan silih berganti dari pedagang krupuk, minuman, pentol
hangat, jagung rebus, topi dan lainnya. Di dekat saya duduk sepasang bule suami
istri. Entah, bule itu dari mana. Sekan-akan orang Arab atau orang Eropa. Si
istri berjilbab. Ketika pedang asongan mulai sepi, datang seseorang menjajakan
topi menghampiri penumpang pada tiap kursi, termasuk bule. “Mister, head hot,” rayunya penuh meyakinkan dan sarat ekspresi
dengan menggerakkan tangannya ke atas. Si bule menolaknya sambil senyum. Saya
malah ngakak bersama penumpang yang
lain mendengar perkataan si penjual topi itu: “Mister, head hot” itu. Si penjual topi malah juga tertawa sambil
menjelaskan ucapannya itu dengan menggunakan Bahasa Madura merespons gelak tawa
saya yang paling nyaring. “Kan, pender,
head cetak, hot panas. Mon terro ta’ panasah cetaka nganggui songkok (Benar
kan, head itu kepada dan hot
itu panas. Supaya kepalanya tidak kepanasan, maka pakailah topi).” Kata yang
simple padat memang kadang butuh ditafsiri agar orang lain tahu maksudnya.
Suatu hal yang
penting dikritisi dari kaca mata penumpang tentang pemberlakuan tarif patas yang
pukul rata antara jarak maksimal dan jarak mininal. Surabaya-Probolinggo
Rp35.000 dan Probolinggo-Jember Rp35.000, sedangkan Surabaya-Jember Rp70.000. Saya
beli jasa 3 kursi Surabaya-Wonorejo, Lumajang. Per orang kena Rp70.000,
semuanya Rp210.000. Tarif Surabaya-Wonorejo berarti sama dengan
Surabaya-Jember, padahal Wonorejo dengan Jember jarak tempuhnya amat jauh.
Jadi, tidak ada toleransi keringan ongkos yang menurut saya pemberlakuan
semacam itu ada unsur kezaliman terselubung pada penumpang. Terkesan muamalat
yang tidak syar’i. Kalau dipikir ulang, jauh lebih fair pemberlakuan ongkos
yang dijalani pengusaha bus tarif regular. Penumpang membayar sesuai jarak
tempuh yang diinginkan, tidak dipukul rata seperti halnya pemberlakuan Patas di
atas. Karena dalam hati kecil para penumpang pasti perucap, Anda puas saya
sekarat. Jika ada pihak yang merasa keberatan, berarti muamalat secam itu
kurang berkah dalam kaca mata tasawuf.
Untuk sampai ke
Keting, Jombang, Jember, saya harus ganti bus jurusan Kencong, Jember. Pada
jalur bagian selatan Jember ini rata-rata busnya hampir tua renta, dan sependek
pengetahuan saya tidak ada Patas lewat jalur ini. Mungkin karena di jalur ini
penumpang relatif sepi. Bagi saya kelas apa pus busnya tidak masalah, karena
yang terpenting sampai pada tujuan. Azan Asar saya sudah berada di bus pada koridor
Wonorejo-Kencong. Perkiraan saya waktu masih di Surabaya akan sampai menjelang
Magrib. Ternyata dengan adanya tol sebagaimana saya sebutkan di atas sangat
mempercepat perjalanan. Sekitar pukul 15.30 sudah tiba di rumah mertua.
Jember, 6 Mei 2019 M
/ 1 Ramadhan 1440 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar