Kamis, 14 April 2016

MENYOAL MARWAH KIAI (Eksistensi Kulturalisme di Bawah Tindihan Profesionalisme)


M. Khaliq Shalha


Stratifikasi tetap dibutuhkan dalam sebuah sistem sosial untuk mengendalikan gerak dinamika keseharian dengan berbagai kompleksitas. Pimimpin masyarakat sangat dibutuhkan peranannya untuk mengatur masyarakat sesuai norma yang berlaku, dan untuk mengendalikan berbagai tindakan yang menyimpang dari norma yang dianut. Kepala negara, kepala suku, kiai atau apapun namanya, punya tanggung jawab besar untuk menciptakan kemaslahatan bersama dan menutup segala kemungkinan terjadinya kerusakan di sana sini.

Hak istimewa yang dipunyai oleh para pemimpin pada area masing-masing, diperoleh dengan cara berbeda-beda. Kepala negara di negara yang menganut sistem demokrasi memperoleh kekuasaannya dari pemilihan umum yang dilakukan oleh segenap rakyat. Sedangkan negara yang menganut sistem kerajaan, diperoleh berdasarkan warisan tahta dari orang tuanya. Tentu jabatan strategis tersebut tidak gampang diperoleh begitu saja, terutama di negara demokratis, tapi didongkrak oleh jejak rekamnya yang diproyeksikan oleh rakyat punya kecakapan untuk memimpin mereka. Pemimpin yang terpilih merupakan orang terbaik dari orang-orang baik, atau orang terbaik dari orang yang tidak baik, jika di suatu negara krisis figur yang cakap.

Sementara itu, figur kiai selaku pemimpin umat, memperoleh kepercayaan dari mereka bermula dari apresiasi umat untuk memimpin mereka dalam urusan agama dan sosial dengan modal kecakapan ilmu agama dan dedikasinya yang tanpa pamrih. Konsentrasi tugas kiai berada dalam ranah pembinaan rohaniah, dan memungkinkan pula memotivasi gerakan sosial untuk membela tanah air, misalnya, sebagaimana pada masa kondisi Indonesia sedang terjajah. Para kiai dan santrinya memiliki peranan berharga untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan negeri ini. Peranan kiai sangat fital dalam membina umat dari akar rumput lewat pondok pesantren, masjid, mushalla, madrasah dan melalu perkumpulan di masyarakat.

Dalam perkembangannya, secara kultural, identitas kiai diperoleh karena faktor keturunan. Mirip dengan jabatan raja dan sultan. Putra mahkota pun juga ada. Dalam khazanah pondok pesantren, putra kiai disebut gus (Madura, lora), dan putri kiai disebut neng. Setelah mereka dewasa, secara otomatis masyarakat memanggil mereka dengan kiai atau nyai. Begitu mudah titel ini disematkan tanpa harus didahului dengan uji kompetensi, tanpa perlu diadakan debat kandidat kiai nyai, sebagaimana debat calon presiden. Dari itulah, titel kiai lebih dominan karena faktor keturunan, bukan profesionalisme.

Seiring melajunya era modern yang menuntut adanya pertaruhan profesionalisme pada setiap sektor dalam pengembangan umat, tak terkecuali dalam sektor lembaga pendidikan yang ditangani kiai, membuat marwah kiai secara kultural mulai terusik. Hal ini para kiai dituntut mengikuti perkembangan formalitas-kenegaraan. Jika tidak begitu, peranannya tertolak oleh sistem. Kiprahnya tertahan dalam skop lokal.

Tak cukup seorang kiai bermodalkan keahlian secara nonformal, seperti ahli dalam memahami kitab kuning dalam berbagai sisinya pada ragam disiplin ilmu yang diajarkan di pesantren. Tak cukup menguasai metode pengajaran yang subyektif-doktriner, tapi juga perlu yang obyektif-rasional.  Figur kiai membutuhkan latar pendidikan pesantren yang top dan mumpuni, juga memerlukan latar pendidikan perguruan tinggi yang handal dan kritis. Jika modal kiai di era kekinian diilustrasikan dengan titel, misal, tak cukup hanya KH. Amal Fuadi, tapi perlu Prof. Dr. KH. Amal Fuadi, MA.

Suatu hal yang perlu dibenahi oleh segenap keluarga kiai dalam memperoleh ijazah dari pendidikan formal, yaitu dilakukan dengan sebenarnya, bukan sekadar titip nama. Karena hal tersebut tak bisa dibenarkan ditinjau dari norma apapun. Secara kenegaraan keliru, dan menurut agama (fiqih dan tasawuf) tidak bisa ditolerir. Sudah kita maklum bersama bahwa jujur itu wajib dan berbohong itu berdosa. Seorang figur kiai akan mudah terbaca oleh umat manakala melakukan kebohongan, apalagi dalam hal sensitif ini. Kondisi ini merugikan beliau karena kebohongan pada publik akan merusak cintra kiai (maaf). Perkara seperti ini tidak sepele dampaknya. Kiai sebagai guru khalayak menjadi percontohan umat, baik sisi positif atau negatifnya. Mewujudkan pendidikan berkarakter di masyarakat akan menjadi isapan jempol belaka manakala tokoh yang ditiru tidak memberikan contoh budi pekerti yang baik. Sudahlah, yang lalu biar berlalu. Untuk selanjutnya, jangan coba-coba. Eman-eman marwah dan popularitasnya selaku panutan umat.

Hidup memang dihadapkan pada pilihan-pilihan, dan kita harus memilih dari sekian macam pilihan itu. Memilih lembaga pendidikan termasuk salah satu pilihan. Pilihan yang bijak bila seseorang masih menginginkan ijazah formal, di samping pengajaran pondok pesantren, yaitu memilih pondok pesantren yang semi modern yang di dalamnya mengajarkan kitab kuning secara intens (sebagai ciri khas istimewa), juga menyelenggarakan pendidikan formal. Salah satu contoh, PP. Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep dan PP. Manbaul Ulum Bata-Bata Pamekasan. Hal ini menjadi solusi alternatif di tengah-tengah tuntutan era keterbukaan ini.

Kalangan kiai yang memilih kehidupan tertutup sangat dikhawatirkan populasinya akan punah di tengah santernya rona-rona dinamika globalisasi dan terhempas di pojok-pojok peradaban dunia yang tak sepi dari rongrongan kecenderungan materialisme yang semakin menggila dan menjadi-jadi. Lalu siapa yang akan mengayomi umat secara telaten dan profesional sesuai perkembangan zaman? Wallah a’lam.   

Sumenep, 14 April 2016










Tidak ada komentar:

Posting Komentar