M. Khaliq Shalha
Stratifikasi
tetap dibutuhkan dalam sebuah sistem sosial untuk mengendalikan gerak dinamika
keseharian dengan berbagai kompleksitas. Pimimpin masyarakat sangat dibutuhkan
peranannya untuk mengatur masyarakat sesuai norma yang berlaku, dan untuk
mengendalikan berbagai tindakan yang menyimpang dari norma yang dianut. Kepala
negara, kepala suku, kiai atau apapun namanya, punya tanggung jawab besar untuk
menciptakan kemaslahatan bersama dan menutup segala kemungkinan terjadinya
kerusakan di sana sini.
Hak
istimewa yang dipunyai oleh para pemimpin pada area masing-masing, diperoleh
dengan cara berbeda-beda. Kepala negara di negara yang menganut sistem
demokrasi memperoleh kekuasaannya dari pemilihan umum yang dilakukan oleh
segenap rakyat. Sedangkan negara yang menganut sistem kerajaan, diperoleh
berdasarkan warisan tahta dari orang tuanya. Tentu jabatan strategis tersebut
tidak gampang diperoleh begitu saja, terutama di negara demokratis, tapi didongkrak
oleh jejak rekamnya yang diproyeksikan oleh rakyat punya kecakapan untuk
memimpin mereka. Pemimpin yang terpilih merupakan orang terbaik dari
orang-orang baik, atau orang terbaik dari orang yang tidak baik, jika di suatu
negara krisis figur yang cakap.
Sementara
itu, figur kiai selaku pemimpin umat, memperoleh kepercayaan dari mereka
bermula dari apresiasi umat untuk memimpin mereka dalam urusan agama dan
sosial dengan modal kecakapan ilmu agama dan dedikasinya yang tanpa pamrih. Konsentrasi
tugas kiai berada dalam ranah pembinaan rohaniah, dan memungkinkan pula memotivasi
gerakan sosial untuk membela tanah air, misalnya, sebagaimana pada masa kondisi
Indonesia sedang terjajah. Para kiai dan santrinya memiliki peranan berharga
untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan negeri ini. Peranan kiai sangat
fital dalam membina umat dari akar rumput lewat pondok pesantren, masjid,
mushalla, madrasah dan melalu perkumpulan di masyarakat.
Dalam
perkembangannya, secara kultural, identitas kiai diperoleh karena faktor
keturunan. Mirip dengan jabatan raja dan sultan. Putra mahkota pun juga ada. Dalam
khazanah pondok pesantren, putra kiai disebut gus (Madura, lora), dan
putri kiai disebut neng. Setelah mereka
dewasa, secara otomatis masyarakat memanggil mereka dengan kiai atau nyai. Begitu
mudah titel ini disematkan tanpa harus didahului dengan uji kompetensi, tanpa
perlu diadakan debat kandidat kiai nyai, sebagaimana debat calon presiden. Dari
itulah, titel kiai lebih dominan karena faktor keturunan, bukan
profesionalisme.
Seiring
melajunya era modern yang menuntut adanya pertaruhan profesionalisme pada
setiap sektor dalam pengembangan umat, tak terkecuali dalam sektor lembaga
pendidikan yang ditangani kiai, membuat marwah kiai secara kultural mulai
terusik. Hal ini para kiai dituntut mengikuti perkembangan formalitas-kenegaraan.
Jika tidak begitu, peranannya tertolak oleh sistem. Kiprahnya tertahan dalam
skop lokal.
Tak
cukup seorang kiai bermodalkan keahlian secara nonformal, seperti ahli dalam memahami
kitab kuning dalam berbagai sisinya pada ragam disiplin ilmu yang diajarkan di pesantren.
Tak cukup menguasai metode pengajaran yang subyektif-doktriner, tapi juga perlu
yang obyektif-rasional. Figur kiai
membutuhkan latar pendidikan pesantren yang top dan mumpuni, juga memerlukan
latar pendidikan perguruan tinggi yang handal dan kritis. Jika modal kiai di
era kekinian diilustrasikan dengan titel, misal, tak cukup hanya KH. Amal Fuadi, tapi perlu Prof.
Dr. KH. Amal Fuadi, MA.
Suatu
hal yang perlu dibenahi oleh segenap keluarga kiai dalam memperoleh ijazah dari
pendidikan formal, yaitu dilakukan dengan sebenarnya, bukan sekadar titip nama.
Karena hal tersebut tak bisa dibenarkan ditinjau dari norma apapun. Secara
kenegaraan keliru, dan menurut agama (fiqih dan tasawuf) tidak bisa ditolerir. Sudah
kita maklum bersama bahwa jujur itu wajib dan berbohong itu berdosa. Seorang figur
kiai akan mudah terbaca oleh umat manakala melakukan kebohongan, apalagi dalam
hal sensitif ini. Kondisi ini merugikan beliau karena kebohongan pada publik
akan merusak cintra kiai (maaf). Perkara seperti ini tidak sepele dampaknya. Kiai
sebagai guru khalayak menjadi percontohan umat, baik sisi positif atau
negatifnya. Mewujudkan pendidikan berkarakter di masyarakat akan menjadi isapan
jempol belaka manakala tokoh yang ditiru tidak memberikan contoh budi pekerti yang
baik. Sudahlah, yang lalu biar berlalu. Untuk selanjutnya, jangan coba-coba. Eman-eman marwah dan popularitasnya selaku
panutan umat.
Hidup
memang dihadapkan pada pilihan-pilihan, dan kita harus memilih dari sekian
macam pilihan itu. Memilih lembaga pendidikan termasuk salah satu pilihan. Pilihan
yang bijak bila seseorang masih menginginkan ijazah formal, di samping pengajaran
pondok pesantren, yaitu memilih pondok pesantren yang semi modern yang di
dalamnya mengajarkan kitab kuning secara intens (sebagai ciri khas istimewa),
juga menyelenggarakan pendidikan formal. Salah satu contoh, PP. Annuqayah
Guluk-Guluk Sumenep dan PP. Manbaul Ulum Bata-Bata Pamekasan. Hal ini menjadi
solusi alternatif di tengah-tengah tuntutan era keterbukaan ini.
Kalangan
kiai yang memilih kehidupan tertutup sangat dikhawatirkan populasinya akan
punah di tengah santernya rona-rona dinamika globalisasi dan terhempas di
pojok-pojok peradaban dunia yang tak sepi dari rongrongan kecenderungan
materialisme yang semakin menggila dan menjadi-jadi. Lalu siapa yang akan
mengayomi umat secara telaten dan profesional sesuai perkembangan zaman? Wallah a’lam.
Sumenep, 14 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar