Sabtu, 16 April 2016

TERHORMAT DI BALIK KETIDAKTERHORMATAN (Menelisik Jati Diri Sukarelawan Jalan dan Pemulung)


M. Khaliq Shalha


Salah satu hal yang sangat bernilai dalam hidup adalah harga diri. Harga diri dapat terpelihara dengan baik dalam diri seseorang manakala ia menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya, baik ia sebagai makhluk individu atau makhluk sosial. Penghayatan harga diri kadang dipelintirkan oleh sebagian manusia sehingga mengalami pergeseran makna secara drastis. Harga diri diidentikkan dengan karir dan jabatan yang menggiurkan, yang mudah meraih pundi-pundi rupiah. Materi sebagai tujuan utama, bukan penebaran manfaat, dan dedikasi pada kehidupan. Hal ini berimbas pada timbulnya pemetaan gengsi dalam ranah sosial, sehingga muncul golongan elitis (terpandang) dan marginal (terpinggirkan). Golongan elitis diposisikan sebagai golongan yang punya harga diri tinggi, sedangkan golongan marginal dipandang sebelah mata dan rendahan.

Tipe pertama cukup memiliki daya tarik sehingga kebanyakan manusia menguber-ubernya ke sana ke mari. Dalam pencarian inilah, tak sepi dari penyimpangan-penyimpangan. Jalan pintas dilakukan demi gengsi. Sehingga apa yang semestinya menjadi hak orang lain menjadi terabaikan, akibat ulah orang-orang tak bertanggung jawab yang hanya bisa menggunakan kesempatan dalam kesempitan, memancing di air yang keruh, menggunting dalam lipatan. Hak-hak rakyat diterlantarkan, hak-hak pekerja diabaikan. Inikah buah dari mengejar gengsi demi marwah harga diri yang bestari? Sangat ironis dan menyedihkan.

Secara alamiah, golongan elitis dan marginal harus sama-sama ada secara berimbang. Karena keduanya sama-sama membutuhkan. Hilangnya keseimbangan populasi di antara keduanya akan menimbulkan problem baru dalam kehidupan. Sirnanya para pekerja kasar akan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan ekonomi secara dahsyat? Siapa yang akan memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari? Lalu, apa artinya keelitisan itu? Hubungan atas bawah pada hakikatnya tidak berpengaruh pada eksistensi harga diri seseorang selama mereka berpijak pada hak dan kewajibannya masing-masing. Inilah yang harus menjadi kesadaran kita dan perlu ditanamkan kepada anak didik kita.

Ketika saya ke luar kota (lebih tepatnya, ke luar rumah), baik ke sekitar kabupaten tempat saya berdomisili atau lintas kebupaten/kota, sering melihat sukarelawan jalan pengatur lalu lintas, khususnya di perempatan atau pertigaan. Demikian pula, para pemulung yang betah menahan bau busuk sampah sambil memungut bekas botol air minum dan sejenisnya. Melihat pahlawan kehidupan tanpa bintang ini, membuat nurani saya berkata pelan hampir kehabisan kata-kata. “Betapa mulia dan bergunanya orang itu!”

Sore kemarin, Jumat, 15 April 2016, saya dengan keluarga pergi ke PP. Annuqayah Latee Guluk-Guluk Sumenep, mengantarkan ipar kembali ke pondoknya setelah berobat dan beristirahat.Waktu akan berangkat, ketika sampai di pertigaan Prenduan, saya melihat sukarelawan jalan (calo yang baik lho) yang biasa mengetem di sana untuk mengentaskan para penyeberang jalan, mengatur kendaraan dan menaikkan penumpang, melakukan abdi tambahan, yaitu membersihkan lumpur di jalan raya yang mengganggu kenyamanan berkendaraan. Saat itu baru kelar hujan seharian sehingga lumpurnya lumayan tebal. Lalu saya berpikir, seandainya tidak ada orang tersebut, kemungkinan besar lumpur itu dibiarkan begitu saja sambil dilibas-libas sehingga jeprat-jepret ke segala arah. Dua jempol buat almukaram sukarelawan jalan!

Dalam perjalanan pulang dari pondok, kami diguyur hujan lebat. Dalam kondisi dingin menyayat seperti ini, kami memilih mampir ke warung makan untuk sekadar menambah energi dan menghangatkan badan dengan mi ayam aktual (hangat), persis di sebelah utara masjid Gemma Prenduan. Menjelang usai makan, tiba-tiba ada seorang sepuh masuk ke warung menghampiri tempat sampah dengan tangkas memungut gelas bekas air minum. Kakek ini masih terlihat energik, semangat 45. Apa yang di sandang kakek ini? Bukan tas mengkilat berisi smartphone dan dompet, tapi berupa kantong plastik merah ukuran jumbo buat menaruh barang bekas hasil pungutannya. Mirip tas jadi-jadian mahasiswa baru yang sedang mengikuti OSPEK (Orientasi Pendidikan Kampus).

Waktu Magrib kebanyakan orang lepas dari hal-hal kotor dan sudah mulai santai bersama keluarga, tapi untuk kakek yang satu ini ada jadwal khusus menapaki usaha memulung untuk mendapat rezeki guna menopang hidupnya. Kondisi kakek ini memantik keluarga saya untuk memberi sekadar uang. Apa responnya? Biasa saja. Dia sekali saja mendongak sekadar menerima uang itu lalu fokus lagi pada pekerjaannya. Tak ada sedikit pun tambahan action kepura-puraan untuk menarik simpati lebih lanjut sehingga yang melihatnya merasa iba dan tergerak mengulurkan bantuannya. Tak ada sama sekali gelagat meminta-minta pada diri baliau. Tak berlebihan bila bila dikatakan bahwa almukaram ini zuhud pada pemberian orang, apalagi pada hal-hal yang tidak dibenarkan.

Dua tipe orang seperti tersebut di atas adalah contoh nyata orang yang punya harga diri dan terhormat. Terhormat tidaknya seseorang bukan dilihat dari segi karir dan jabatannya yang mentereng dan deretan kekayaan materinya yang melimpah ruah, tapi dari dedikasinya pada kehidupan dan kemandiriannya berjalan di atas yang diridai Tuhan. Cukup populer di kalangan kita hadits Nabi yang diriwayatkan oleh At-Thabrani: “Dari Jabir, Nabi SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat pada sesamanya.” “Dari Ibn Umar, Nabi SAW bersabda: “Manusia yang paling dicintai Allah adalah manusia yang paling bermanfaat pada sesamanya.”  Wallah a’lam.

Sumenep, 16 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar