M. Khaliq Shalha
Salah satu hal yang sangat bernilai dalam hidup adalah harga
diri. Harga diri dapat terpelihara dengan baik dalam diri seseorang manakala ia
menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya, baik ia sebagai makhluk
individu atau makhluk sosial. Penghayatan harga diri kadang dipelintirkan oleh
sebagian manusia sehingga mengalami pergeseran makna secara drastis. Harga diri
diidentikkan dengan karir dan jabatan yang menggiurkan, yang mudah meraih
pundi-pundi rupiah. Materi sebagai tujuan utama, bukan penebaran manfaat, dan
dedikasi pada kehidupan. Hal ini berimbas pada timbulnya pemetaan gengsi dalam
ranah sosial, sehingga muncul golongan elitis (terpandang) dan marginal
(terpinggirkan). Golongan elitis diposisikan sebagai golongan yang punya harga
diri tinggi, sedangkan golongan marginal dipandang sebelah mata dan rendahan.
Tipe pertama cukup memiliki daya tarik sehingga kebanyakan
manusia menguber-ubernya ke sana ke mari. Dalam pencarian inilah, tak sepi dari
penyimpangan-penyimpangan. Jalan pintas dilakukan demi gengsi. Sehingga apa
yang semestinya menjadi hak orang lain menjadi terabaikan, akibat ulah
orang-orang tak bertanggung jawab yang hanya bisa menggunakan kesempatan dalam
kesempitan, memancing di air yang keruh, menggunting dalam lipatan. Hak-hak
rakyat diterlantarkan, hak-hak pekerja diabaikan. Inikah buah dari mengejar
gengsi demi marwah harga diri yang bestari? Sangat ironis dan menyedihkan.
Secara alamiah, golongan elitis dan marginal harus sama-sama
ada secara berimbang. Karena keduanya sama-sama membutuhkan. Hilangnya
keseimbangan populasi di antara keduanya akan menimbulkan problem baru dalam
kehidupan. Sirnanya para pekerja kasar akan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan
ekonomi secara dahsyat? Siapa yang akan memproduksi barang-barang kebutuhan
sehari-hari? Lalu, apa artinya keelitisan itu? Hubungan atas bawah pada
hakikatnya tidak berpengaruh pada eksistensi harga diri seseorang selama mereka
berpijak pada hak dan kewajibannya masing-masing. Inilah yang harus menjadi
kesadaran kita dan perlu ditanamkan kepada anak didik kita.
Ketika saya ke luar kota (lebih tepatnya, ke luar rumah),
baik ke sekitar kabupaten tempat saya berdomisili atau lintas kebupaten/kota,
sering melihat sukarelawan jalan pengatur lalu lintas, khususnya di perempatan
atau pertigaan. Demikian pula, para pemulung yang betah menahan bau busuk
sampah sambil memungut bekas botol air minum dan sejenisnya. Melihat pahlawan
kehidupan tanpa bintang ini, membuat nurani saya berkata pelan hampir kehabisan
kata-kata. “Betapa mulia dan bergunanya orang itu!”
Sore kemarin, Jumat, 15 April 2016, saya dengan keluarga
pergi ke PP. Annuqayah Latee Guluk-Guluk Sumenep, mengantarkan ipar kembali ke
pondoknya setelah berobat dan beristirahat.Waktu akan berangkat, ketika sampai
di pertigaan Prenduan, saya melihat sukarelawan jalan (calo yang baik lho) yang biasa mengetem di sana untuk
mengentaskan para penyeberang jalan, mengatur kendaraan dan menaikkan
penumpang, melakukan abdi tambahan, yaitu membersihkan lumpur di jalan raya
yang mengganggu kenyamanan berkendaraan. Saat itu baru kelar hujan seharian
sehingga lumpurnya lumayan tebal. Lalu saya berpikir, seandainya tidak ada
orang tersebut, kemungkinan besar lumpur itu dibiarkan begitu saja sambil
dilibas-libas sehingga jeprat-jepret ke segala arah. Dua jempol buat almukaram sukarelawan jalan!
Dalam perjalanan pulang dari pondok, kami diguyur hujan
lebat. Dalam kondisi dingin menyayat seperti ini, kami memilih mampir ke warung
makan untuk sekadar menambah energi dan menghangatkan badan dengan mi ayam
aktual (hangat), persis di sebelah utara masjid Gemma Prenduan. Menjelang usai
makan, tiba-tiba ada seorang sepuh masuk ke warung menghampiri tempat sampah
dengan tangkas memungut gelas bekas air minum. Kakek ini masih terlihat
energik, semangat 45. Apa yang di sandang kakek ini? Bukan tas mengkilat berisi
smartphone dan dompet, tapi berupa
kantong plastik merah ukuran jumbo buat menaruh barang bekas hasil pungutannya.
Mirip tas jadi-jadian mahasiswa baru yang sedang mengikuti OSPEK (Orientasi
Pendidikan Kampus).
Waktu Magrib kebanyakan orang lepas dari hal-hal kotor dan
sudah mulai santai bersama keluarga, tapi untuk kakek yang satu ini ada jadwal
khusus menapaki usaha memulung untuk mendapat rezeki guna menopang hidupnya.
Kondisi kakek ini memantik keluarga saya untuk memberi sekadar uang. Apa
responnya? Biasa saja. Dia sekali saja mendongak sekadar menerima uang itu lalu
fokus lagi pada pekerjaannya. Tak ada sedikit pun tambahan action kepura-puraan untuk menarik simpati lebih lanjut sehingga
yang melihatnya merasa iba dan tergerak mengulurkan bantuannya. Tak ada sama
sekali gelagat meminta-minta pada diri baliau. Tak
berlebihan bila bila dikatakan bahwa almukaram ini zuhud
pada pemberian orang, apalagi pada hal-hal yang tidak dibenarkan.
Dua tipe orang seperti tersebut di atas adalah contoh nyata
orang yang punya harga diri dan terhormat. Terhormat tidaknya seseorang bukan
dilihat dari segi karir dan jabatannya yang mentereng dan deretan kekayaan
materinya yang melimpah ruah, tapi dari dedikasinya pada kehidupan dan
kemandiriannya berjalan di atas yang diridai Tuhan. Cukup populer di kalangan
kita hadits Nabi yang diriwayatkan oleh At-Thabrani: “Dari Jabir, Nabi SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah manusia
yang paling bermanfaat pada sesamanya.” “Dari Ibn Umar, Nabi SAW bersabda:
“Manusia yang paling dicintai Allah adalah manusia yang paling bermanfaat pada
sesamanya.” Wallah a’lam.
Sumenep, 16 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar