M. Khaliq Shaliq
Orang tua adalah sosok guru pertama dan utama untuk memformat
kepribadian anak. Madrasah rumah tangga merupakan lembaga informal yang sangat
krusial sebelum dan sesudah anak menginjak pendidikan PAUD dan seterusnya. Kata
guru saya, “al-baitu madrasatul ula
(rumah adalah madrasah pertama).”
Nilai-nilai akhlak orang tua perlu disemaikan sejak kedua pasangan
sedang memproses memasuki jenjang rumah tangga, bahkan ketika masih jomblo,
mengingat karakter anak merupakan fotokopi dari kedua orang tua. Kelapa jatuh
tidak jauh dari pohonnya, kata orang bijak dulu. Namun setelah jatuh bisa saja
sangat jauh dari pohonnya bila dihanyut banjir. Itu
artinya, perkembangan anak juga bisa diwarnai oleh lingkungan di luar kehidupan
orang tua.
Target orang tua bukan sekadar memiliki anak cerdas secara intelektual,
tapi juga secara emosional dan spiritual. Mencetak anak berintelektual unggul
dan fisiknya sehat bisa diupayakan oleh orang tuanya dengan mengkonsumsi
makanan bergizi. Tak cukup hanya dengan makanan bergizi, tapi juga halal.
Dalam bahasa Al-Qur’an, halalan Thayyiba
(halal dan bergizi). Saya kadang dihadapkan oleh perilaku orang tua terhadap
anaknya yang mengundang hati kontroversi dan kadang terinspirasi. Kasus
kontroversi yang pernah saya lihat dengan kedua mata saya adalah orang tua
sedang mengantarkan anaknya ke sekolah, ia melakukan tindakan tidak terpuji
karena mencuri jajan milik penjual di sekolah, lalu jajan tersebut diberikan kepada
anaknya. Anaknya yang tak berdosa diberi makanan yang tak seberapa harganya,
yang sebenarnya makanan tersebut adalah racun bagi kepribadian anaknya. Kok
tega? Dilihat dari segi taraf ekonominya, orang itu bukanlah termasuk kere,
tapi biasa-biasa saja. Sama dengan ibu-ibu lainnya yang juga mengantarkan
anaknya. Masalah mencuri, faktor utamanya bukanlah soal terhimpit ekonomi saja,
tapi yang lebih dominan karena faktor krisis mentalitas. Imannya sedang
kelepek-kelepek (dhai’if). Ampun
Tuhan!!
Kasus lain yang menggugah saya, di depan salah satu swalayan, Jumat
petang, 15 April 2016 lalu. Ada anak kecil sekitar berumur 3 tahun memegang
susu botolan ke luar dari swalayan menghampiri bapaknya yang menunggu di luar,
setelah baru saja anak itu dari ibunya di dalam toko. Susu itu oleh anaknya
disuruh kuliti untuk diseruputnya. Sontak bapaknya dengan nada agak tegas
menanyakan kepada ibu si anak yang membuntuti anak tersebut. “Sudah bayar?”
“Belum,” kata si ibu. “Sana bayar ke dalam dulu!” timpal si bapak. Susu itu
gagal dikuliti sebelum dibayar di kasir.
Secara etika, sebagian kita mungkin kalah dengan sikap si bapak ini.
Misalnya, anak kita kadang mengkonsumsi camilan sebelum ibunya selesai membayar
ketika sedang berbelanja, sebelum semua apa yang akan dibeli selesai
terkumpulkan, baru setelah itu dibayar total.
Sadar atau tidak, prinsip si Bapak itu bukan sekadar berdasarkan fiqih,
tapi tasawuf. Fiqih lebih dangkal ketimbang tasawuf. Sebagai batas minimal.
Tapi bertindak dengan menggunakan perspektif fiqih sudah tidak berrisiko, jelas
halal, cuma lebih afdalnya, perspektif tasawuf juga dipakai. Bila nilai-nilai
tasawuf bisa kita terapkan dalam kehidupan, berarti kita mengantarkan diri kita
pada golongan elitis dalam penghayatan terhadap agama.
Kita jangan menyepelekan mengkonsumsi barang haram, baik yang dzati, seperti khamar, atau yang sababi (karena caranya tidak benar),
seperti mengkonsumsi makanan hasil curian atau korupsi. Mengkonsumsi barang
haram sama halnya meracuni keberkahan hidup kita dan anak cucu kita.
Kemungkinan risikonya sangat besar. Selain membentuk karakter jahat, juga
menimbulkan krisis pahala amal ibadah yang primer, dalam hal ini shalat dan doa
tertolak oleh Allah.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ لَمْ
تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَإِنْ
عَادَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ نَهَرِ الْخَبَالِ
قِيلَ وَمَا نَهَرُ الْخَبَالِ قَالَ صَدِيدُ أَهْلِ النَّار ِ(رواه أحمد) .
Dari Ibn Umar bahwa Nabi SAW
bersabda: “Barangsiapa minum khamar, shalatnya tidak diterima 40 malam. Jika ia
bertobat, Allah menerima tobatnya. Jika ia mengulanginya, maka hak Allah untuk
memberi minum padanya dari sungai khabal. Ditanyakan (oleh sahabat), ‘apa
khabal itu?’ Nabi menjawab, ‘nanah penghuni neraka.’” (HR. Ahmad).
مَنْ أَكَلَ لُقْمَةً
مِنْ حَرَامٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، وَلَمْ تُسْتَجَبْ
لَهُ دَعْوَةٌ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا، وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ
أَوْلَى بِهِ، وَإِنَّ اللُّقْمَةَ الْوَاحِدَةَ مِنَ الْحَرَامِ لَتُنْبِتُ اللَّحْمَ
. (رواه الديلمى عن ابن مسعود) .
“Barangsiapa memakan sesuap barang haram, shalatnya tidak
diterima 40 malam, dan doanya tidak diijabat 40 pagi. Dan, setiap daging yang tumbuh
dari barang haram, neraka layak baginya. Sesuap barang haram niscaya tumbuh
menjadi daging.” (HR. Ad-Dailami dari Ibn Mas’ud).
Jika shalat dan doa tertolak, apa yang akan bisa kita harapkan pada masa
depan kita dan anak cucu kita. Hal ini cukup memberi kesadaran kepada kita
bahwa kita jangan mengejar butir tapi melupakan tumpeng. Akhrinya, defisit
berkah yang kita terima. Bukan sengsara membawa nikmat, tapi nikmat membawa
sengsara. Sebelum terlambat, solusinya tobat nasuha, bukan tobat sambal.
Dalam Islam, dosa warisan itu tidak ada, tapi karakter warisan
(genetika) secara otomatis nyata adanya. Sebagai sebuah prinsip pula: mewarisi
karakter dan jejak rekam yang baik kepada anak, jauh lebih berharga ketimbang
tahta dan harta benda melimpah. Apalah artinya sebuah tahta dan harta benda
melimpah di balik keroposnya mentalitas. Memberi konsumsi yang halal pada anak
lebih bernilai ketimbang menyematkan perhiasan berjejer dan kendaraan mewah,
tapi abai pada perkara yang prinsipil. Wallah
a’lam.
Sumenep, 17 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar