M. Khaliq Shalha
عن
أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال يخرج من النار من قال لاإله إلا الله وكان في قلبه
مثقال شعيرة من خير (رواه ابن ماجه) .
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Seseorang pasti masuk surga di mana ia pernah berucap Lailaha illallah dan di
hatinya menyimpan kebaikan walau sebiji gandum.” (HR. Ibn Majah).
Surga dan neraka mutlak milik Tuhan. Manusia tidak punya
kunci mutlak keduanya. Oleh karena itu, jangan gampang mengklaim amalnya yang
terbaik, sedangkan amal orang lain dinilainya tidak berkualitas. Jangan mudah
menuduh orang lain sesat gara-gara beda tafsir keagamaan. Orang yang berlagak
bagai punya kunci surga, berarti ia rapuh imannya. Orang yang belagu punya
kunci neraka hingga mudah memvonis orang lain masuk neraka, ia sedang mengambil posisi Tuhan dengan modal kesombongan belaka.
Tak penting menilai orang lain masuk surga atau neraka berdasarkan spekulasi diri.
Itu bukan urusan manusia.
Jika punya banyak waktu lowong, sebaiknya kita gunakan
untuk melakukan tindakan ekonomi ketimbang menilai status orang masuk surga
atau neraka, supaya banyak uang buat biaya hidup anak istri dan kalau memadai bisa buat naik haji juga traveling ke tempat eksotis agar mata
dan hati kita lebih terbuka untuk menyaksikan keagungan ciptaan Tuhan yang
terhampar di jagat raya, dan banyak tahu ragam budaya yang melekat pada manusia di
luar daerah kita, sehingga hidup kita tidak seperti katak dalam tempurung atau lalat
dalam toples kaca.
Tuhan Maha Pemurah. Surga-Nya begitu murah. Dengan modal
ucapan Lailaha illallah dan sebutir kebaikan dalam hati saja, seseorang digaransi
masuk surga, sebagaimana hadits Nabi SAW di atas. Makna hadits tersebut memberikan
pemahaman kepada kita tentang modal minimal untuk meraih tiket surga berupa
iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan
modal primer (pokok) sebagai syarat mutlak untuk meraih surga kelak. Persoalannya,
jika seseorang hanya punya modal itu, kapan ia akan masuk surga? Sementara, hak
dan kewajiban yang lain yang bersangkutan dengan diri sendiri, orang lain dan
Tuhan terabaikan. Malaikat tentu mencegatnya di perlintasan (shirath) untuk
tidak keburu ke surga, lalu melemparnya keras-keras ke neraka untuk menyempuh dosa-dosanya
yang sudah berkarat. Wih, na’udzubillah bin dzalik.
Setiap perbuatan manusia di dunia ini harus
dipertanggungjawabkan kelak. Kewajiban serta hak-hak yang berkaitan dengan
Allah (haqqullah) harus ditunaikan, demikian juga yang terkait dengan
manusia (haqqul adami).
Penyimpangan terhadap keduanya harus dibayar mahal. Manusia bisa langsung masuk
surga, bisa pula masih harus mampir di neraka beberapa lama (tergantung
ketebalan dosanya). Bisa langsung, bila amal kebaikan seseorang melebihi
kejelekannya. Kalau dalam bahasa ekonomi, surplus kebaikan. Bisa tidak
langsung, dalam artian mampir dulu di neraka, bila amal kebaikannya lebih
sedikit dari kejelekannya, alias defisit kebaikan.
Defisit kebaikan ini yang perlu kita khawatirkan setiap
saat, sehingga menjadi fokus kita untuk melakukan muhasabah (introspeksi
diri) terhadap amal kita. Apakah amal kita sudah relatif cukup untuk
mengantarkan kita ke surga tanpa mampir dulu di jurang neraka? Kecenderungan manusia
terhadap hal-hal yang mengarah ke surga dan neraka tensinya sangat berbeda.
Hadits Nabi SAW menggambarkan hal itu. Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah
SAW bersabda: “Sesungguhnya surga dikelilingi oleh perkara yang tidak
disenangi, sedangkan neraka dikeliling oleh syahwat.” (HR. Thabrani).
Perbuatan-perbuatan baik yang mengarah ke surga dirasa
begitu getir, penuh onak, sarat tanjakan berkelok dan rintangan berat. Shalat,
sedekah, misalnya, dirasa kadang begitu melelahkan dan menyebalkan untuk ditunaikan. Sepertinya
tidak populer dalam jiwa. Begitulah jihad yang sebenarnya bergejolak dalam
setiap diri manusia. Apakah manusia mampu menaklukkan semua rintangan yang
menghadang atau malah terseok-seok di tengah perjalanan. Setiap yang berbuah
manis harus ditempuh dengan perjuangan yang setimpal. Begitulah ajaran agama yang
progresif, bukan statis dalam membangun peradaban mulia di dunia dan meraih
rida Tuhan di akhirat kelak dalam surga-Nya.
Secara sepintas, penyimpangan demi penyimpangan yang
dilakukan manusia di dunia ini mengenakkan, melenakan bahkan bisa membuat lupa
diri dan lupa daratan. Korupsi, misalnya, mungkin dirasa enak. Bergelimangan
harta bukan haknya tanpa beban rasa malu mengantarkannya lebih bergengsi.
Pergaulan bebas dengan lain jenis tak ubahnya pergaulan dunia ayam tanpa rasa
bersalah. Mengobral aurat begitu bangga dengan bodi yang gemulai memikat atau pas-pasan.
Menjatuhkan marwah orang lain demi ambisi pribadi menjadi kebanggaan. Begitulah
energi negatif syahwat bergelora yang sebenarnya tak lama lagi akan menyeret
pelakunya ke jurang kehinaan di mata masyarakat dan di sisi Tuhannya.
Ayat Tuhan tentang hukum karma wajib kita pegangi
erat-erat sebagai pijakan kita setiap akan bertindak. “Barangsiapa
mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan, barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Az-Zalzalah [99]: 7-8).
Ayat ini begitu dahsyat memotivasi kita untuk berbuat baik, dan begitu erat dan
kuat mengerem perilaku bejat kita.
Ingat. Orang akan masuk surga bukan karena amal kebaikan
semata, tapi karena mutlak rahmat Allah. Dan, ingat pula, rahmat Allah tidak
diobral begitu saja tanpa amal baik. Jadi, untuk mendapat rahmat Allah syarat
mutlaknya beramal baik. Begitulah pemetaan prinsip yang logis-teologis-spiritualis untuk
meraih surga. Wallah a’lam.
Sumenep, 08 April 2016
sangat memotivasi ustad.
BalasHapusmasyarakat kita masih memperdebatkan tentang agama, sedangkan orang luar sudah jauh melangkah untuk menghancurkan indonesia. bagaimana menurut bapak.
Sebagai warga Indonesia, kita jangan gampang diadu gara-gara beda mazhab. Karena lahap empuk provokator dari luar untuk merusak agama, mereka mengusung isu agama, misal syiah, wahabi dll. Kita harus punya sikap toleransi, insya Allah kita sulit diadu domba.
BalasHapus