M. Khaliq Shalha
Dalam
perspektif sufi, ada dua kategori menuju profesi spiritual. Pertama, golongan abrar, yaitu para pengabdi
(sukarelawan). Golongan ini meliputi ‘abidin
dan zahidin, yaitu mereka yang
mencurahkan seluruh potensi dan minat untuk beribadah dan beramal saleh (dalam
arti luas) demi mendapat pahala dan derajat tinggi di surga. Peranan ‘abidin dan zahidin adalah pengabdi kepada Allah dengan setulus-tulusnya dalam
berbagai bentuk pengabdian. Ada yang mengambil kiprah dalam dakwah yang disebut
dai. Ada pula berkiprah dalam mengatur penduduk negeri yang disebut umara. Ada
lagi berkiprah dalam kesehatan disebut dokter. Demikian pula, ada yang
berkiprah dalam pendidikan yang disebut guru, dan lain sebagainya.
Kedua, golongan muqarrabin, yaitu para orang dekat dengan Allah.
Golongan ini meliputi muhibbin dan ‘arifin, yaitu mereka yang bersuluk dalam
bentuk mengerahkan seluruh potensi dan minat untuk beribadah demi memenuhi
hak-hak Allah semata dan mendapat curahan rida-Nya. Golongan muhibbin dan ‘arifin memerankan dirinya untuk mencurahkan seluruh cintahnya
kepada Allah, hingga memasuki medan makrifat dan syuhud.
Golongan
pertama dan kedua di atas berjalan sesuai kecenderungan masing-masing sebagai
anugerah dari Allah. Menyikapi dua pemetaan manusia menuju kedekatan dengan
Tuhan, kita perlu menyikapi secara berimbang, supaya dapat meraih prestasi
gemilang dan relatif padu di antara keduanya. Sepertinya, jarang adanya dalam
diri seseorang dua karakter yang sedikit berbeda konsentrasinya tersebut,
berjalan secara berimbang dan sejajar, tapi ada yang dominan di antara kedunya,
kecuali dalam diri Rasulullah SAW. Meminjam istilah sistem ekonomi dunia, ada
negara yang menerapkan sistem ekonomi liberal (kapital) dan ada pula negara
lainnya menganut sistem ekonomi sosial (komando). Kenyataannnya, tidak ada
negara yang murni menerapan salah satu sistem ekonomi tersebut. Tapi sistem
ekonomi campuran, namun memiliki kecenderungan yang dominan.
Sebagai
kiblat pencerahan lahir batin, Rasulullah SAW adalah sosok insan kamil nomor
wahid. Di samping beliau sebagai tokoh golongan pertama, juga sebagai tokoh
golongan kedua. Salah satu buktinya, dalam peristiwa mikraj, beliau masih mau
kembali ke dunia setelah beliau berhasil menemui Tuhannya di Sidratil Muntaha.
Kata Muhammad Iqbal, sebagaimana dikutip oleh Kuntowijoyo dalam bukunya, Ilmu Sosial Profetik, bahwa andai Nabi
itu seorang mistikus murni, niscaya beliau tidak akan mau kembali lagi kedunia,
tapi karena beliau punya misi mulia untuk merubah jalannya sejarah manusia di
muka bumi, maka beliau berkenan untuk kembali lagi ke bumi. Peristiwa inilah,
menurut saya, sangat pas menjadi pijakan kokoh para calon abrar dan muqarrabin agar
memiliki keseimbangan yang relatif setara.
Golongan
pertama dan kedua, menurut Ibn Athaillah As-Sakandari, merupakan anugerah tak
terhingga dari Allah yang salah satu dari keduanya tidak boleh dipandang
sepele. Saya kira benar, tapi kita perlu bijak cara mengamininya supaya kita
memiliki peran ganda, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW
sepanjang hayatnya. Periodisasi dakwah Rasulullah SAW sangat menyentuh semua
aspek yang dibutuhkan manusia. Dari periode penanaman keimanan yang kokoh, yang
sangat intens ketika di Mekah, hingga pranata sosial yang mapan di Madinah.
Pendidikan
spiritual-sosial ala Rasulullah SAW begitu bersahaja (aktual dan logis), penuh
berimbang untuk mencetak generasi abrar
plus muqarrabin atau muqarrabin plus abrar. Hadits sahih berikut secara benderang menuturkan hal itu.
عن أنس بن مالك رضي الله عنه يقول جاء ثلاث رهط إلى بيوت أزواج
النبي صلى الله عليه و سلم يسألون عن عبادة النبي صلى الله عليه و سلم فلما أخبروا
كأنهم تقالوها فقالوا أين نحن من النبي صلى الله عليه و سلم ؟ قد غفر الله له ما تقدم
من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أما أنا فإني أصلي الليل أبدا وقال آخر أنا أصوم الدهر
ولا أفطر وقال آخر أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا فجاء رسول الله صلى الله عليه و
سلم فقال أنتم الذين قلتم كذا وكذا ؟ أما والله
أتي لأخشاكم لله وأتقاكم له لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن
سنتي فليس مني . (رواه البخارى و مسلم) .
Dari Anas ibn Malik RA
berkata: “Ada tiga kelompok orang datang ke rumah istri-istri Nabi SAW, mereka
bertanya tentang ibadah Nabi SAW. Terjadi perbincangan di antara mereka. Mereka
berkata: Di mana (level) kualitas ibadah kita dibandingkan ibadah Nabi SAW?
Allah sudah mengampuni dosa beliau, baik yang sudah berlalu atau yang akan
datang.” Salah seorang di antara mereka berkata: “Kalau saya selalu ibadah pada
waktu malam.” Satunya berkata: “Saya berpuasa selama satu tahun suntuk.”
Satunya lagi mengatakan: “Saya membujang, saya tidak akan kawin selamanya.”
Maka Rasulullah SAW datang kemudian bersabda: “Engkau semua mengatakan begini
dan begitu? Eh, demi Allah, saya paling takut dan paling takwa kepada Allah
ketimbang engkau semua, akan tetapi saya berpuasa, berbuka, shalat, tidur, dan
saya beristri. Barangsiapa tidak senang pada sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku.”
(HR. Bukhari Muslim).
Mengkampanyekan pencerahan dua sisi ini pada
masyarakat kita merupakan langkah mulia dan akurat. Perlu memasyarakatkan
profesi abrar dan meng-abrar-kan masyarakat, demikian pula
memasyarakatkan profesi muqarrabin
dan meng-muqarrabin-kan masyarakat.
Bila siang, mereka berkhidmat di berbagai lini kehidupan guna menggerakkan
sejarah secara dinamis untuk mencapai peradaban mulia nan diridai Ilahi, sedangkan di kala malam, mereka
bermunajat secara intens penuh khusyuk dengan Tuhannya. Sekelumit segmin
aktivitas manusia: siang, mereka memagang cangkul di sawah, sebagian yang lain
menggerakkan jari-jemarinya di atas keyboard
laptop di sebuah perkantoran atau lainnya, sedangkan malamnya memutar
tasbih berwirid sambil sesaat mengusap linangan air mata karena curhat sendunya
dengan Tuhan. Hidup menjadi berkah. Wallah
a’lam.
Sumenep,
19 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar