M. Khaliq Shalha
Penyimpangan sosial dapat dimaknai sebagai perilaku yang oleh sebagian
banyak orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi.
Penyimpangan terhadap norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial
menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem tersebut untuk
memperbaikinya. Tindakan yang diambil ini disebut pengendalian sosial.
Tak semua penyimpangan pada akhirnya berdampak negatif dalam tatanan
sosial, bahkan akan menimbulkan tren baru yang mengandung kemaslahatan, baik
secara domestik (keluarga) atau kolektif (publik). Jenis penyimpangan semacam
ini tidak menyalai norma agama yang baku, tapi sekadar menyalai norma kesopanan
yang dianut oleh masyarakat tertentu sesuai tingkat intelektualitas dalam
memahami perkembangan realitas sosial. Jika suatu masyarakat kehidupannya
tertutup, mungkin banyak hal yang ditentang yang datangnya dari luar. Sejalan
dengan perkembangan pemikiran, kebutuhan dan pergaulannya semakin mengglobal, apa
yang sebelumnya dianggap saru, pada akhirnya diterima dengan baik.
Benar-salah, baik-buruk atau pantas-tidaknya sesuatu,
sangat ditentukan oleh diskursus masyarakat atau episteme yang dipakai mereka. Salah satu contoh, pada periode awal
Islam, Rasulullah SAW dianggap orang gila dan dukun oleh kafir Quraisy.
Kehebatan bahasa Al-Qur’an di atas nalar bahasa orang Arab kala itu, oleh
mereka dianggap sihir Muhammad. Beliau dianggap sosok menyimpang menurut
persepsi mereka. Pada akhirnya, persepsi itu berubah. Rasulullah yang sebelumnya
dianggap orang gila, ternyata sang pencerah yang dapat mengangkis mereka dari
jurang kehinaan menuju kemuliaan (dalam
bahasa Al-Qur’an, min az-zhulumat ila
an-nur).
Di lingkungan masyarakat desa saya, tahun 2000-an, perempuan yang
menyetir sepeda motor dinilai melakukan tindakan menyimpang. Betapa masyarakat
menghujat dengan pedas tindakan tersebut. Pada waktu itu pula, perempuan yang
berboncengan dengan tukang ojek, dianggap tidak bermasalah, berada dalam batas
toleransi. Secara agama mungkin mereka menghukuminya darurat. Dalam kaidah
fiqih dikatakan: Ad-Dharurah tubih
al-mahzhurat (Kondisi darurat menyebabkan kebolehan perkara-perkara
terlarang). Kala itu hanya orang-orang tertentu yang memiliki sepeda motor, dan
jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Dengan kondisi itu pula, tensi
kecemburuan suami terbilang rendah, walau ada sebagian yang menimbulkan gejolak
gara-gara istrinya naik ojek.
Lain lagi kondisinya sekitar lima tahun terakhir ini. Perempuan menyetir
sepeda motor bukan lagi dianggap penyimpangan sosial, tapi kemajuan sosial.
Faktor pendukungnya, karena meningkatnya taraf ekonomi masyarakat sehingga
nyaris setiap rumah mampu membeli sepeda motor. Hal itu memantik kalangan perempuan
untuk belajar menyetir, khususnya dengan sepeda motor matic. Di samping
itu, masyarakat sudah berpandangan lebih global, melihat perkembangan perempuan
masyarakat lain. Persepsi bergeser, maka menilaian pun berubah.
Jika dilihat secara substansi, perbandingan antara perempuan naik ojek
dengan menyetir motor, kira-kira lebih pantas yang mana? Dilihat dari aspek
sosiologi agama, perempuan yang menyetir motor sepantasnya diapresiasi. Perempuan
juga punya tanggung jawab penuh sesuai batas kodratnya dalam menciptakan
kehidupan yang nyaman dan kebutuhan tertangani dengan lancar.
Setidaknya ada dua kemaslahan dari perempuan bisa bermotor. Pertama, meminimalisir perempuan naik
ojek pada lain jenis yang bukan mahram. Tak ada alasan darurat yang bisa digunakan,
kecuali dalam kondisi tententu. Naik ojek berbeda dengan naik mobil umum. Risiko
naik ojek relatif sensitif dan besar, karena berduaan di atas kendaraan. Rawan
menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat. Dengan banyaknya perempuan bisa
menyetir motor akan menjadi alternatif bagi kaum hawa untuk meminta hatar
kepada sesamanya menuju tempat tujuan.
Kedua, tidak mengganggu tugas suaminya. Perempuan terbilang manusia yang padat
aktivitas sesuai fitrah dan peranannya di lingkungan di mana ia berkiprah. Dari
urusan berbelanja ke pasar, undangan, arisan dan sejenisnya. Seorang istri yang
tidak bisa menyetir motor, rawan mengganggu tugas suami, misal, ketika suami
sedang mengajar, secara tiba-tiba istrinya meminta hantar ke undangan di desa
sebelah, karena teman-temannya sudah berangkat. Dan, bagi pelajar
perempuan, bisa mengurangi risiko pergaulan bebas dengan lain jenis gara-gara
berboncengan.
Kondisi kemajuan yang positif ini, bisa menciptakan berkendaraan syar’i. Ketidaktergantungan kaum perempuan dalam
bermotor pada lain jenis yang bukan mahramnya, akan tercipta pergaulan yang
sehat dalam pandangan agama. Sementara kebutuhan berkendaraan bisa terpenuhi.
Selanjutnya, hal yang harus diperhatikan oleh perempuan bermotor adalah etika
berkendaraan. Misalnya, memanggil salam pada pejalan kaki, atau minimal
pamitan. Memacu kendaraan sewajarnya sehingga orang lain tidak merasa
terganggu. Berbusana sesuai aturan agama, dan lain-lain. Wallah a’lam.
Sumenep, 21 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar