Kamis, 21 April 2016

PENYIMPANGAN SOSIAL BERPAHALA (Fenomena Perempuan Desa Menyetir Motor)


M. Khaliq Shalha



Penyimpangan sosial dapat dimaknai sebagai perilaku yang oleh sebagian banyak orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi. Penyimpangan terhadap norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem tersebut untuk memperbaikinya. Tindakan yang diambil ini disebut pengendalian sosial.

Tak semua penyimpangan pada akhirnya berdampak negatif dalam tatanan sosial, bahkan akan menimbulkan tren baru yang mengandung kemaslahatan, baik secara domestik (keluarga) atau kolektif (publik). Jenis penyimpangan semacam ini tidak menyalai norma agama yang baku, tapi sekadar menyalai norma kesopanan yang dianut oleh masyarakat tertentu sesuai tingkat intelektualitas dalam memahami perkembangan realitas sosial. Jika suatu masyarakat kehidupannya tertutup, mungkin banyak hal yang ditentang yang datangnya dari luar. Sejalan dengan perkembangan pemikiran, kebutuhan dan pergaulannya semakin mengglobal, apa yang sebelumnya dianggap saru, pada akhirnya diterima dengan baik.  

Benar-salah, baik-buruk atau pantas-tidaknya sesuatu, sangat ditentukan oleh diskursus masyarakat atau episteme yang dipakai mereka. Salah satu contoh, pada periode awal Islam, Rasulullah SAW dianggap orang gila dan dukun oleh kafir Quraisy. Kehebatan bahasa Al-Qur’an di atas nalar bahasa orang Arab kala itu, oleh mereka dianggap sihir Muhammad. Beliau dianggap sosok menyimpang menurut persepsi mereka. Pada akhirnya, persepsi itu berubah. Rasulullah yang sebelumnya dianggap orang gila, ternyata sang pencerah yang dapat mengangkis mereka dari jurang kehinaan menuju kemuliaan  (dalam bahasa Al-Qur’an, min az-zhulumat ila an-nur).

Di lingkungan masyarakat desa saya, tahun 2000-an, perempuan yang menyetir sepeda motor dinilai melakukan tindakan menyimpang. Betapa masyarakat menghujat dengan pedas tindakan tersebut. Pada waktu itu pula, perempuan yang berboncengan dengan tukang ojek, dianggap tidak bermasalah, berada dalam batas toleransi. Secara agama mungkin mereka menghukuminya darurat. Dalam kaidah fiqih dikatakan: Ad-Dharurah tubih al-mahzhurat (Kondisi darurat menyebabkan kebolehan perkara-perkara terlarang). Kala itu hanya orang-orang tertentu yang memiliki sepeda motor, dan jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Dengan kondisi itu pula, tensi kecemburuan suami terbilang rendah, walau ada sebagian yang menimbulkan gejolak gara-gara istrinya naik ojek.

Lain lagi kondisinya sekitar lima tahun terakhir ini. Perempuan menyetir sepeda motor bukan lagi dianggap penyimpangan sosial, tapi kemajuan sosial. Faktor pendukungnya, karena meningkatnya taraf ekonomi masyarakat sehingga nyaris setiap rumah mampu membeli sepeda motor. Hal itu memantik kalangan perempuan untuk belajar menyetir, khususnya dengan sepeda motor matic. Di samping itu, masyarakat sudah berpandangan lebih global, melihat perkembangan perempuan masyarakat lain. Persepsi bergeser, maka menilaian pun berubah.

Jika dilihat secara substansi, perbandingan antara perempuan naik ojek dengan menyetir motor, kira-kira lebih pantas yang mana? Dilihat dari aspek sosiologi agama, perempuan yang menyetir motor sepantasnya diapresiasi. Perempuan juga punya tanggung jawab penuh sesuai batas kodratnya dalam menciptakan kehidupan yang nyaman dan kebutuhan tertangani dengan lancar.

Setidaknya ada dua kemaslahan dari perempuan bisa bermotor. Pertama, meminimalisir perempuan naik ojek pada lain jenis yang bukan mahram. Tak ada alasan darurat yang bisa digunakan, kecuali dalam kondisi tententu. Naik ojek berbeda dengan naik mobil umum. Risiko naik ojek relatif sensitif dan besar, karena berduaan di atas kendaraan. Rawan menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat. Dengan banyaknya perempuan bisa menyetir motor akan menjadi alternatif bagi kaum hawa untuk meminta hatar kepada sesamanya menuju tempat tujuan.

Kedua, tidak mengganggu tugas suaminya.  Perempuan terbilang manusia yang padat aktivitas sesuai fitrah dan peranannya di lingkungan di mana ia berkiprah. Dari urusan berbelanja ke pasar, undangan, arisan dan sejenisnya. Seorang istri yang tidak bisa menyetir motor, rawan mengganggu tugas suami, misal, ketika suami sedang mengajar, secara tiba-tiba istrinya meminta hantar ke undangan di desa sebelah, karena teman-temannya sudah berangkat. Dan, bagi pelajar perempuan, bisa mengurangi risiko pergaulan bebas dengan lain jenis gara-gara berboncengan.

Kondisi kemajuan yang positif ini, bisa menciptakan berkendaraan syar’i.  Ketidaktergantungan kaum perempuan dalam bermotor pada lain jenis yang bukan mahramnya, akan tercipta pergaulan yang sehat dalam pandangan agama. Sementara kebutuhan berkendaraan bisa terpenuhi.

Selanjutnya, hal yang harus diperhatikan oleh perempuan bermotor adalah etika berkendaraan. Misalnya, memanggil salam pada pejalan kaki, atau minimal pamitan. Memacu kendaraan sewajarnya sehingga orang lain tidak merasa terganggu. Berbusana sesuai aturan agama, dan lain-lain. Wallah a’lam.

Sumenep, 21 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar