M. Khaliq Shalha
Zikir dan doa merupakan bentuk komunikasi seorang hamba
dengan Tuhannya untuk kepentingan diri sendiri, bukan kepentingan Tuhan.
Berzikir dan berdoa ibarat kita ngeces HP untuk mendapatkan suplai
energi supaya HP tersebut bisa dioperasikan sebagaimana mestinya. “Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS.
Al-Baqarah [02]: 152). Suplai anugerah Tuhan kepada hamba-Nya yang rajin
berzikir berupa rahmat dan ampunan.
Zikir mewujud dalam hati, lisan dan raga bila potensi
cinta bersemi dalam jiwa. Doa akan terpanjat ketika seorang hamba merasa butuh pada
pertolongan Tuhan Maha Kaya di atas segala-galanya. Jadi, zikir timbul karena
cinta, sedangkan doa karena butuh. Ibarat komunikasi antar sesama, seseorang
akan sering menyebut-nyebut nama orang lain bila dalam jiwanya timbul rasa
cinta. Seseorang mencari-cari orang lain ketika ia membutuhkan bantuannya. Di
mana pun berada, orang yang dibutuhkan akan dicarinya, tanpa kenal lelah dan
bahkan tak kenal siang atau malam dengan cuaca panas atau dingin.
Dalam aspek pelaksanaannya, zikir dan doa
diklasifikasikan menjadi dua: formal dan nonformal. Pelaksanaan yang formal
bersifat baku, pokok, mengikat dan tidak bisa diganggu gugat, berupa shalat dan
sejenisnya. Shalat merupakan ensiklopedi ibadah, baik yang bermuatan ‘ubudiyah-rububiyah
atau sosial. Shalat berisi zikir dan doa paketan dari Tuhan, yang bahasa
lainnya ma’tsur (berdasarkan Al-Qur’an dan hadits). Oleh karena, itu
shalat merupakan induk dari berbagai konsep mobilisasi spiritual dan sosial
dengan cakupan yang lebih luas yang menyentuh semua aspek kehidupan di luar
shalat. Bermasalah dalam konsep induk, kemungkinan besar bermasalah pula pada
cabang-cabangnya.
Sedangkan nonformal, bersifat kondisional. Sifatnya
sekunder dan tersier sebagai pengembangan dari yang formal. Cakupannya bukan
hanya zikir hati dan lisan, tapi merambah secara intens pada zikir raga. Zikir
raga yang dimaksud adalah menggunakan segenap potensi jasmani untuk mengelola
sumber daya manusia dan alam demi kemaslahatan hidup dalam berbagai sektor.
Berbisnis, misalnya, menggunakan cara-cara yang halal. Tidak menghalalkan
berbagai macam cara demi meraup keuntungan yang melimpah. Tidak menggasak,
gesok, gosok mitra bisnisnya demi ambisi syahwatnya. Di atas usaha raga dan
gelimang apa yang dihasilkan, ada Tuhan yang menjadi kiblat gerak kita guna
merengkuh berkah dan rida-Nya. Itulah makna zikir raga sebagai muara dari
setiap aktivitas yang kita lalukan.
Korupsi, kolusi, nepotisme dan tindakan menyimpang
lainnya sudah barang tentu dilakukan oleh orang-orang yang tak berzikir secara
totalitas. “Hai orang-orang beriman,
janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun [63]: 9).
Secara lisan, zikir dan doa redaksinya tak terhingga.
Zikir dan doa yang ma’tsur nyaris tak terhitung jumlahnya. Anda pun
boleh membuat redaksi sendiri dengan bahasa Arab, bahasa persatuan kita (bahasa
Indonesia) atau bahasa daerah. Zikir dan doa yang ma’tsur di berbagai
kesempatan banyak macamnya dengan keutamaan-keutamaan tertentu. Banyaknya zikir
yang diajarkan Nabi sebagai khazanah dan kemurahan, mengingat manusia memiliki sisi
sifat negatif berupa bosan dan rakus. Dua sifat negatif ini bisa menyebabkan
suatu amal menjadi terbengkalai, mangkrak, atau tidak sempurna. Jangankan urusan
ibadah yang oleh sebagian banyak orang kurang diminati, urusan menu makanan
saja, manusia masih sering kehilangan nafsu makan jika apa yang dikonsumsi setiap saat itu-itu saja. Hari ini doyan makan soto, besok mungkin nasi goreng. Untuk mengatasi dua
sifat buruk tersebut, dengan sifat Maha Bijaksana, Allah memberikan
keanekaragaman cara ibadah dan menentukan batas waktu agar manusia tidak bosan
dan rakus. Sedangkan hal zikir dan doa yang tidak formal, manusia dipersilakan untuk
memilihnya sesuai dengan selera, tanpa mengurangi makna istikamah, asal tidak
absen. Misalnya, hari ini bertasbih sebanyak 100 kali, besok mungkin bertahmid
100 kali dan lusa membaca Al-Qur’an. Hal semacam itu masih tetap disebut
istikamah dalam berzikir. Jika hari ini berzikir dan besok libur, hal itu tidak
bisa disebut istikamah. Al-Ghazali menyinggung juga dalam Ihya’ ‘Ulumiddin
tentang sifat bosan manusia dalam hal ibadah bila monoton, sehingga ia
menawarkan solusi variasi amalan.
Ingat, untaian mutiara kalimat Ibn Athaillah As-Sakandari
dalam kitabnya, Al-Hikam: “Ketika Allah mengetahui bahwa kamu mudah
merasa jemu, maka Dia membuat beraneka ragam cara agar kamu berbuat taat.
Karena Allah mengetahui bahwa kamu pun rakus, maka Dia membatasinya pada
waktu-waktu tetentu tertentu agar perhatianmu tertuju pada kesempurnaan shalat,
bukan pada adanya shalat.” Target utama pelaksanaan shalat adalah
kesempurnaannya, bukan sekadar dapat terlaksana tapi kehilangan konsentrasi.
Amalan zikir dan doa begitu banyak yang diajarkan
Rasulullah—sistem 24 jam—dan keutaman tertentu, tentu sulit bagi kita untuk
mengamalkan satu demi satu seratus persen. Kalau boleh dikatakan, secara
kuantitas kita tidak bisa melakukan secara total, tapi secara kualitas bisa
mungkin mendekati sempurna dengan gonta-ganti amalan untuk menghindari
kebosanan. Syekh Muhyiddin Al-Nawawi mengatakan di awal-awal pembahasan
kitabnya, Al-Adzkar: Al-Muntahibah min Kalam Sayyid Al-Abrar SAW, bahwa
apa yang diketahui seseorang tentang amalan-amalan utama (al-fadhail
al-a’mal), sebisa mungkin untuk diamalkan walau satu kali saja supaya dapat
disebut pengamalnya. Kurang pantas juga, kata beliau, bila ditinggalkan begitu
saja. Dari Ibn Abbas, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila saya memerintahkan
sesuatu padamu, kerjakan semampunya.” (HR. Baihaqi).
Apapun bentuk zikir dan doa yang kita panjatkan. Dalam
ranah hati, lisan atau raga, hendaknya dapat membangkitkan energi hati dengan
gerak dinamis, mengusik jaringan nurani secara langsung hingga bergejolak dan
berkibas-kibas untuk merontokkah dosa-dosa kita yang sudah mulai menabal.
Timbulnya krisis multidimensi di negeri ini disebabkan
oleh terjadinya krisis energi zikir dan doa pada sebagian banyak kalangan kita.
Tuhan tidak lagi sebagai muara hidup, tapi harta, tahta dan wanita menjadi
primadonanya. Mengembalikan kompas
kehidupan lewat zikir dan doa secara totalitas akan menjadi solusinya, sehingga
bisa mewarnai mobilitas spiritual dan sosial dalam kehidupan nyata. Yakin,
hidup akan menjadi berkah dan beruntung. Wallah a’lam.
Sumenep, 13 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar