Rabu, 13 April 2016

MENU ZIKIR DAN DOA (Menggugah Mobilitas Spiritual dan Sosial)



M. Khaliq Shalha


Zikir dan doa merupakan bentuk komunikasi seorang hamba dengan Tuhannya untuk kepentingan diri sendiri, bukan kepentingan Tuhan. Berzikir dan berdoa ibarat kita ngeces HP untuk mendapatkan suplai energi supaya HP tersebut bisa dioperasikan sebagaimana mestinya. “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah [02]: 152). Suplai anugerah Tuhan kepada hamba-Nya yang rajin berzikir berupa rahmat dan ampunan.

Zikir mewujud dalam hati, lisan dan raga bila potensi cinta bersemi dalam jiwa. Doa akan terpanjat ketika seorang hamba merasa butuh pada pertolongan Tuhan Maha Kaya di atas segala-galanya. Jadi, zikir timbul karena cinta, sedangkan doa karena butuh. Ibarat komunikasi antar sesama, seseorang akan sering menyebut-nyebut nama orang lain bila dalam jiwanya timbul rasa cinta. Seseorang mencari-cari orang lain ketika ia membutuhkan bantuannya. Di mana pun berada, orang yang dibutuhkan akan dicarinya, tanpa kenal lelah dan bahkan tak kenal siang atau malam dengan cuaca panas atau dingin.

Dalam aspek pelaksanaannya, zikir dan doa diklasifikasikan menjadi dua: formal dan nonformal. Pelaksanaan yang formal bersifat baku, pokok, mengikat dan tidak bisa diganggu gugat, berupa shalat dan sejenisnya. Shalat merupakan ensiklopedi ibadah, baik yang bermuatan ‘ubudiyah-rububiyah atau sosial. Shalat berisi zikir dan doa paketan dari Tuhan, yang bahasa lainnya ma’tsur (berdasarkan Al-Qur’an dan hadits). Oleh karena, itu shalat merupakan induk dari berbagai konsep mobilisasi spiritual dan sosial dengan cakupan yang lebih luas yang menyentuh semua aspek kehidupan di luar shalat. Bermasalah dalam konsep induk, kemungkinan besar bermasalah pula pada cabang-cabangnya.

Sedangkan nonformal, bersifat kondisional. Sifatnya sekunder dan tersier sebagai pengembangan dari yang formal. Cakupannya bukan hanya zikir hati dan lisan, tapi merambah secara intens pada zikir raga. Zikir raga yang dimaksud adalah menggunakan segenap potensi jasmani untuk mengelola sumber daya manusia dan alam demi kemaslahatan hidup dalam berbagai sektor. Berbisnis, misalnya, menggunakan cara-cara yang halal. Tidak menghalalkan berbagai macam cara demi meraup keuntungan yang melimpah. Tidak menggasak, gesok, gosok mitra bisnisnya demi ambisi syahwatnya. Di atas usaha raga dan gelimang apa yang dihasilkan, ada Tuhan yang menjadi kiblat gerak kita guna merengkuh berkah dan rida-Nya. Itulah makna zikir raga sebagai muara dari setiap aktivitas yang kita lalukan.

Korupsi, kolusi, nepotisme dan tindakan menyimpang lainnya sudah barang tentu dilakukan oleh orang-orang yang tak berzikir secara totalitas. Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun [63]: 9).

Secara lisan, zikir dan doa redaksinya tak terhingga. Zikir dan doa yang ma’tsur nyaris tak terhitung jumlahnya. Anda pun boleh membuat redaksi sendiri dengan bahasa Arab, bahasa persatuan kita (bahasa Indonesia) atau bahasa daerah. Zikir dan doa yang ma’tsur di berbagai kesempatan banyak macamnya dengan keutamaan-keutamaan tertentu. Banyaknya zikir yang diajarkan Nabi sebagai khazanah dan kemurahan, mengingat manusia memiliki sisi sifat negatif berupa bosan dan rakus. Dua sifat negatif ini bisa menyebabkan suatu amal menjadi terbengkalai, mangkrak, atau tidak sempurna. Jangankan urusan ibadah yang oleh sebagian banyak orang kurang diminati, urusan menu makanan saja, manusia masih sering kehilangan nafsu makan jika apa yang dikonsumsi setiap saat itu-itu saja. Hari ini doyan makan soto, besok mungkin nasi goreng. Untuk mengatasi dua sifat buruk tersebut, dengan sifat Maha Bijaksana, Allah memberikan keanekaragaman cara ibadah dan menentukan batas waktu agar manusia tidak bosan dan rakus. Sedangkan hal zikir dan doa yang tidak formal, manusia dipersilakan untuk memilihnya sesuai dengan selera, tanpa mengurangi makna istikamah, asal tidak absen. Misalnya, hari ini bertasbih sebanyak 100 kali, besok mungkin bertahmid 100 kali dan lusa membaca Al-Qur’an. Hal semacam itu masih tetap disebut istikamah dalam berzikir. Jika hari ini berzikir dan besok libur, hal itu tidak bisa disebut istikamah. Al-Ghazali menyinggung juga dalam Ihya’ ‘Ulumiddin tentang sifat bosan manusia dalam hal ibadah bila monoton, sehingga ia menawarkan solusi variasi amalan.

Ingat, untaian mutiara kalimat Ibn Athaillah As-Sakandari dalam kitabnya, Al-Hikam: “Ketika Allah mengetahui bahwa kamu mudah merasa jemu, maka Dia membuat beraneka ragam cara agar kamu berbuat taat. Karena Allah mengetahui bahwa kamu pun rakus, maka Dia membatasinya pada waktu-waktu tetentu tertentu agar perhatianmu tertuju pada kesempurnaan shalat, bukan pada adanya shalat.” Target utama pelaksanaan shalat adalah kesempurnaannya, bukan sekadar dapat terlaksana tapi kehilangan konsentrasi.

Amalan zikir dan doa begitu banyak yang diajarkan Rasulullah—sistem 24 jam—dan keutaman tertentu, tentu sulit bagi kita untuk mengamalkan satu demi satu seratus persen. Kalau boleh dikatakan, secara kuantitas kita tidak bisa melakukan secara total, tapi secara kualitas bisa mungkin mendekati sempurna dengan gonta-ganti amalan untuk menghindari kebosanan. Syekh Muhyiddin Al-Nawawi mengatakan di awal-awal pembahasan kitabnya, Al-Adzkar: Al-Muntahibah min Kalam Sayyid Al-Abrar SAW, bahwa apa yang diketahui seseorang tentang amalan-amalan utama (al-fadhail al-a’mal), sebisa mungkin untuk diamalkan walau satu kali saja supaya dapat disebut pengamalnya. Kurang pantas juga, kata beliau, bila ditinggalkan begitu saja. Dari Ibn Abbas, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila saya memerintahkan sesuatu padamu, kerjakan semampunya.” (HR. Baihaqi).

Apapun bentuk zikir dan doa yang kita panjatkan. Dalam ranah hati, lisan atau raga, hendaknya dapat membangkitkan energi hati dengan gerak dinamis, mengusik jaringan nurani secara langsung hingga bergejolak dan berkibas-kibas untuk merontokkah dosa-dosa kita yang sudah mulai menabal.

Timbulnya krisis multidimensi di negeri ini disebabkan oleh terjadinya krisis energi zikir dan doa pada sebagian banyak kalangan kita. Tuhan tidak lagi sebagai muara hidup, tapi harta, tahta dan wanita menjadi primadonanya.  Mengembalikan kompas kehidupan lewat zikir dan doa secara totalitas akan menjadi solusinya, sehingga bisa mewarnai mobilitas spiritual dan sosial dalam kehidupan nyata. Yakin, hidup akan menjadi berkah dan beruntung. Wallah a’lam.

Sumenep, 13 April 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar