M. Khaliq Shalha
Kata
amal berasal dari bahasa Arab, sedangkan kerja bahasa Indonesia.
Makna keduanya kurang lebih sama: berbuat, mengerjakan, melakukan atau
sejenisnya. Meliputi hal-hal baik dan buruk. Amal sering dikonotasikan dengan
perilaku yang menghasilkan pahala, sedangkan kerja dikonotasikan dengan aktivitas
yang menghasilkan uang. Amal berarti aktivitas ibadah, balasannya pahala,
sedangkan kerja aktivitas ekonomi, hasilnya uang. Pemetakan seperti ini kadang tidak
menguntungkan bila dihitung-hitung dari entri ajaran Islam (akidah, fiqih dan
tasawuf), karena tiga ajaran pokok tersebut melingkupi semua bentuk amal
(kerja/aktivitas) manusia, tanpa ada dikotomi.
Pendikotomian
yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita, berdampak pada besar-kecilnya apresiasi
mereka pada amal-kerja tersebut. Yang paling mencolok—sependek pengamatan
saya—ekspresi orang tua ketika anaknya melanjutkan pendidikan. Mereka melihat
secara kasat mata pada jurusan yang akan diampu, bukan pada niat yang harus
ditambatkan. Salah satu contoh, orang tua yang fanatik sempit pada agama, akan
mengapresiasi anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliah (MA), yang
bercitrakan agama, dan kurang memberi restu bila melanjutkan ke Sekolah Teknik
Mesin (STM) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berorientasi pada keterampilan
kerja. Hal demikian, saya kira kurang tepat. Apapun sekolah yang dipilih dan
jurusan yang diampu, tidak menjadi soal. Tidak mengurangi kualitas pahala di
sisi Allah, asal niatnya baik.
Alasan
orang tua mungkin khawatir terhadap penghayatan keagamaan anaknya kurang mapan.
Jika itu alasannya, ada alternatif lain, dengan memberikan tambahan belajar di
luar sekolah.. Bahkan sekarang begitu mudah didapat SMK plus yang dimiliki pondok
pesantren. Di samping para murid dibekali keterampilan kerja sesuai jurusannya,
mereka juga diwajibkan mengikuti kajian kitab kuning secara intens. Dalam suatu
kesempatan, saya pernah berbincang dengan guru tugas dari salah satu pondok
pesantren terkemuka di Pamekasan. Ketepatan dia alumni SMK pesantren dimaksud.
Saya bertanya tentang pengajaran kitab kuning bagi murid-murid SMK. Dia
menuturkan bahwa di lembaganya, kitab kuning tetap menjadi program wajib secara
intens. Alumni di lembaga ini bisa siap kerja dan siap pakai, termasuk pula
kehandalan kitab kuningnya. Mantap!!
Suatu
hal yang menurut saya juga kurang tepat dalam pemetakan sekolah yang
berorientasi amal atau kerja. Sekolah yang berorientasi keterampilan kerja
bukan berarti kering spiritual dan pahala. Demikian pula, sekolah agama bukan
berarti pula subur spiritual dan kaya pahala. Kedua-duanya tergantung pada niat
para orang tua dan murid. Syekh Az-Zarnuji dalam kitabnya, Ta’limul
Muta’allim, menuturkan secara gamlang niat yang benar dalam menuntut ilmu,
yaitu untuk mendapat rida Allah, selamat di akhirat, menghilangkan kebodohan
diri sendiri dan orang lain, juga menghidupkan dan melanggengkan agama. Merawat
agama, zuhud dan takwa bisa dicapai bila punya landasan ilmu. Niat ini harus
menjadi motivasi setiap murid dari lembaga pendidikan apapun, baik MA, SMK dan
lainnya.
Tipe
dan jurusan lembaga pendidikan hanyalah sekadar mengasah kompetensi murid
sesuai bidangnya supaya fokus, bukan sebagai penentu bernilai ibadah atau
tidak. Semuanya akan bernilai ibadah bila niatnya tepat. Demikian pula, apapun
jurasannya jika niatnya tidak tepat, hanya mungkin mendapat prestasi pragmatis
dan kesementaraan.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا
لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ
إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ
يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ». (رواه البخارى و مسلم)
.
Dari
Ibn Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya,
dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) pada apa yang diniatkan.
Barangsiapa niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya. Dan, barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin
digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya
kepada apa dia niatkan.” (HR.
Bukhari Muslim).
Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, menyitir bahwa hadits tersebut dilatari oleh seseorang yang ikut hijrah dari Mekah ke Madinah dengan maksud untuk menikah dengan seorang perempuan bernama Ummu Qais, bukan bermaksud mendapat fadilah hijrah. Dari itulah, menjadi jelas bahwa tuntunan niat karena Allah dalam setiap aktivitas apapun menjadi urgen dan penentu kualitas keberagamaan seseorang. Ada sandaran vertikal yang pertama dan utama dalam membangun kesempurnaan hidup dalam berbagai aspeknya, termasuk dalam hal mencari jodoh dan nafkah.
Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, menyitir bahwa hadits tersebut dilatari oleh seseorang yang ikut hijrah dari Mekah ke Madinah dengan maksud untuk menikah dengan seorang perempuan bernama Ummu Qais, bukan bermaksud mendapat fadilah hijrah. Dari itulah, menjadi jelas bahwa tuntunan niat karena Allah dalam setiap aktivitas apapun menjadi urgen dan penentu kualitas keberagamaan seseorang. Ada sandaran vertikal yang pertama dan utama dalam membangun kesempurnaan hidup dalam berbagai aspeknya, termasuk dalam hal mencari jodoh dan nafkah.
Iman
Nawawi mengatakan dalam Syarh An-Nawai ‘ala Muslim, bahwa kandungan
hadits ini mencakup perang dan perbuatan-perbuatan lainnya. Lebih lanjut beliau
mengatakan, ulama telah sepakat (ijmak) bahwa hadits ini memiliki obyek yang
besar dan sarat faedah melimpah. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa menurut Imam
Syafi’i, hadits ini meliputi sepertiga ajaran Islam, dan 70 bab fiqih dilingkupinya.
Niat
adalah pembeda dari setiap aktivitas seseorang. Iman Suyuthi telah membahasnya
dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhair bahwa fungsi niat setidaknya ada
dua. Pertama, memperjelas atau membedakan antara perbuatan ibadah dengan
tradisi. Kedua, membedakan rangkaian suatu ibadah dengan ibadah lain
sesuai dengan urutan dan batas-batas yang ditentukan dalam hukum Islam. Salah
satu contoh, tidak makan dan minum di siang hari ada kemungkinan karena puasa,
pantangan atau untuk diet. Hal tersebut dapat dibedakan dengan niat. Anjuran
saya, sekalian bila anda ingin diet, sebaiknya berpuasa saja agar dapat pahala
puasa dan secara otomatis diet juga terlaksana. Contoh lainnya, duduk di dalam
masjid kadang untuk iktikaf atau untuk beristirahat, tergantung pada niatnya.
Mengenai perkara makna kerja yang berorientasi
mencari uang atau nafakah, bukanlah hal yang tercela dan kering pahala. Hal itu
tergolong amal saleh pula. Amal saleh bukan hanya terbatas pada ibadah ritual (mahdhah),
tapi juga segala kegiatan untuk memenuhi hajat hidup. Hadits berikut memberi
spirit kerja, dalam artian mencari nafakah dengan pahala yang menggiurkan
عن أبي هريرة
قال قال رسول الله : إن من الذنوب ذنوبا لا يكفرها الصلاة ولا الصيام ولا الحج ولا
العمرة قالوا فما يكفرها يا رسول الله قال الهموم في طلب المعيشة . (رواه
الطبرانى) .
Dari Abu Hurairah berkata,
Rasulullah SAW bersabda: “Ada dosa dari sekian banyak dosa yang tak terampuni
dengan shalat, puasa, haji dan umrah. Para sahabat bertanya: ‘Apa yang bisa
mengampuninya wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: ‘Kesengsaraan dalam mencari
penghidupan.’” (HR. At-Thabrani).
Amal sama dengan kerja. Jika keduanya dikonotasikan
berbeda oleh sebagian masyarakat, tidak masalah. Yang penting kita punya
prinsip bahwa amal dan kerja sama-sama bernilai ibadah bila dibangun di atas
niat yang baik. Setiap amal (kerja) yang kita lakukan, sandaran utamanya adalah
rida Tuhan. Setiap aktivitas yang kita lakukan harus mengandung kemaslahatan
dunia akhirat. Ingat, tak ada nilai amal akhirat bila keliru niat, dan tak akan
sia-sia kerja dunia bila dilandasi niat baik. Wallah a’lam.
Sumenep, 20 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar