M. Khaliq Shalha
Tak semua murid memiliki multitalenta dalam menguasai banyak mata
pelajaran. Matematika bagi satu murid menarik dan mudah dipahami, bagi murid yang
lain sungguh menjemukan dan menyebalkan. Demikian juga belajaran bahasa asing,
bahasa Arab dan Inggris, misalnya. Dari sekian banyak pelajaran yang menjemukan,
matematika lazimnya kurang diminati oleh mayoritas murid. Belajar matematika
itu menarik bagi murid yang paham, ringan bagi murid yang tidak mengerti sama
sekali, dan berat bagi murid yang tanggung antara mengerti dan tidak. Tipe
pertama dan kedua sama-sama dapat disebut paham di luar kepala: tipe pertama
mahir betul, dan tipe kedua tak ada bekas sama sekali di kepala, alias bleng.
Diminati atau tidak, matematika tetap wajib diajarkan, karena materi ini masuk
pada kurikulum sekolah/madrasah. Di samping itu pula, matematika memiliki
peranan fital dalam kehidupan. Konsekuensinya, semua murid wajib mengikuti
pelajaran tersebut. Matematika tergolong pengetahuan dasar yang digunakan dalam
kehidupan, hampir dalam semua aktivitas. Target minimalnya dalam pembelajaran
ini, murid mahir tambahan, kurangan, perkalian dan pembagian. Hal tersebut
diajarkan kepada murid sejak di bangku RA. Tingkatan selanjutnya mengembangkan
pelajaran dari tingkatan sebelumnya. Dalam pengembangan inilah, titik jenuh
mulai dirasakan oleh murid, misalnya pada tingkat MTs dan MA.
Tugas guru matematika—atau mata pelajaran lainnya—bisa menyajikan materi
yang bisa memantik murid belajar secara aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan. Metode, teknik, dan taktik mengajar perlu dikuasi secara mumpuni.
Kesabaran, ketelatenan jangan sampai pudar di benak guru. Kata-kata sarkatisme
hendaknya di buang jauh-jauh, seperti goblok, otak udang dan sejenisnya. Karena
hal itu tidak akan menyelesaikan masalah kementokan dan kegalauan murid dalam
pengembangan berhitung.
Guru harus tetap fokus memberikan pembelajaran secara efektif. Murid
berkewajiban belajar aktif, baik pelajarannya menarik atau menjemukan. Modal
utama dan pertama bagi guru adalah mengajar dengan baik, sedangkan bagi murid
belajar dengan baik pula. Perkara murid mengerti atau tidak, itu urusan Tuhan. Secara
logika, bila guru bisa menyampaikan dengan baik, dan murid menyimak dengan saksama,
kemungkinan besar ilmu murid akan bertambah, baik murid dapat menyerap secara
sempurna apa yang disampaikan, atau beberapa persennya saja.
Ada nasihat berharga dari KH. Maimun Zubair (lahir 28 Oktober 1928), Pengasuh
PP. Al-Anwar, Sarang Rembang Jawa Tengah: “Jadi guru tidak usah punya niat
bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridnya tidak
pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik
yang baik. Masalah muridmu kelak menjadi pintar atau tidak, serahkan kepada
Allah. Didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah.”
“Yang paling hebat bagi seorang guru adalah
mendidik, dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar. Ketika melihat
murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji, namun
hadirkanlah gambaran bahwa di antara satu dari mereka kelak akan menarik tangan
kita menuju surga.”[1]
Memaksakan kehendak untuk mencekoki mata pelajaran yang nyaris tak bisa di
tampung di otak para murid, rupanya tidak bijak juga. Yang penting sudah ada
usaha serius, perkara masih mentok, tawakal saja kepada Allah. Barangkali pada
bulan-bulan atau tahun-tahun berikutnya murid itu bisa paham. Apa yang pernah didengar,
dibaca dan dilihat seseorang, sebenarnya terrekam di memori otaknya. Rekaman
itu sewaktu-waktu bisa diputar dalam ingatannya. Ada kemungkinan pula apa yang
belum bisa dipahami, pada waktunya nanti menjadi bisa dipahami. Dalam khazanah budaya
religi kita, ada keyakinan tentang ilmu yang berkah. Salah satu indikasinya,
ilmu yang kita pelajari bisa berkembang di kemudian hari.
Saya punya guru matematika yang bijak sekaligus sabar. Beliau adalah Pak
Afifi, asal Prenduan Sumenep. Masih segar dalam ingatan saya waktu saya masih duduk
di bangku MAK (Madrasah Aliah Keagamaan) Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep,
tepatnya kelas dua, bahwa beliau perhatian pada para murid. Salah satu
buktinya, ketika teman saya ngantuk bahkan sampai tertidur (sampai fana’,
kalau dalam istilah tasawuf), beliau sontak secara tegas menyuruh teman saya
tersebut untuk berwudu. Tertidur sama halnya memutuskan komunikasi antara guru
dan murid. Tentu merugikan kedua belah pihak. Guru sudah mapan menyampaikan
materi, sementara murid tidak bisa menerima apa yang disampaikan, tentu
buang-buang energi begitu saja. Sementara murid yang tidur, jelas tidak akan
paham pada materi yang disampaikan. Jangankan tidur di kelas, tidak tidur pun
belum tentu paham.
Dalam kesempatan yang lain, setelah beliau menyampaikan materi matematika
panjang lebar, komplet dengan contoh-contohnya, beliau coba bertanya kepada
salah satu murid yang sudah biasa menjadi sasaran pertanyaan yang rada-rada
guyon. “Kamu mengerti? Kalau belum mengerti, sudahlah, yang
penting sehat wal afiat dan masuk surga.” Kurang lebih begitu kelakar akhir
beliau pada salah satu episode pertemuan dalam kegiatan belajar mengajar.
Kondisi titik jenuh seperti ini tak menarik kiranya bila ditutup dengan
kata-kata marah, meledek dan semacamnya. Lebih baik tawakal kepada Tuhan. Hah!! Wallah a’lam.
Sumenep, 15 April 2016
[1] http://www.khutbahppsh.com/2015/12/nasehat-dari-syikhunaa-hadlratus-syech.html?m=1
Sumber nasihat ini saya peroleh dari situs internet tersebut. Teman-teman facebook
banyak mengunggahnya pula. Alangkah lebih berharganya bila kita mendapatkan
sumber aslinya.
Catatan inspiratif Mas.
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya Mas
Hapus