M. Khaliq Shalha
Kita patut bangga dan bersyukur bila memiliki waktu memadai untuk
bermunajat kepada Allah dan bersosial. Disadari atau tidak, banyak di antara
kita lebih responsif terhadap nada HP karena ada telepon atau SMS ketimbang
merespons suara azan untuk panggilan shalat. Kita ogah pada panggilan shalat.
Sesempatnya dan semaunya walau pada akhir waktu.
Dalam sebuah hadits dikatakan :
عَنْ أُمِّ فَرْوَةَ وَكَانَتْ قَدْ بَايَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَفْضَلِ الْعَمَلِ فَقَالَ الصَّلَاةُ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا (رواه أحمد) .
Dari Ummu
Farwah—ia pernah melakukan jual beli dengan Nabi SAW—berkata, Rasulullah SAW
ditanyakan tentang amal yang paling utama, Rasulullah bersabda: “Shalat pada
awal waktu.” (HR. Ahmad).
Dalam redaksi
lain dikatakan :
أَنَّها سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَذَكَرَ الْأَعْمَالَ فَقَالَ أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ تَعْجِيلُ
الصَّلَاةِ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا
(رواه أحمد) .
Sesungguhnya dia (Ummu Farwah) mendengar
Rasulullah SAW ketika Beliau menjelaskan ragam amal, Beliau bersabda: “Amal
yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla adalah menyegerakan shalat pada awal
waktu.” (HR. Ahmad).
Hadits ini memberikan pandangan dan ajaran kepada kita untuk sebisa mungkin
berupaya melaksanakan ibadah secara sempurna dan utama dengan penuh antusias.
Menjatuhkan target maksimal dalam mengerjakan shalat, misalnya, menjadi
perlambang (tanda) bahwa penghayatan kita dalam melakukan ibadah benar-benar
digalakkan, baik karena memaksakan diri atau karena dipicu oleh kesadaran dari
lubuk hati yang paling dalam. Mengerjakan shalat di awal waktu, tak semua orang
bisa, bahkan kalau boleh dikatakan, hanya sebagian kecil saja yang sanggup
melakukannya. Padahal apa beratnya untuk segera mengerjakan shalat pada awal
waktu dalam kondisi yang memungkinkan? Pengajaran disiplin ini sangat berarti
bagi kita untuk memantik disiplin dalam ranah yang lain di luar shalat.
Kita bisa saja berkilah dengan perspektif fiqih. Dalam kitab fiqih,
misalnya kitab yang menjadi pengangan para santri, Fathul Qarib al-Mujib,
karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi asy-Syafi’i, pada awal-awal bab
dijelaskan klasifikasi waktu shalat. Pada awal waktu disebut waktu wajib muwassa’.
Maksudnya, bila sudah masuk waktu shalat, ketika itu shalat mulai wajib
dikerjakan, tapi waktunya longgar sampai waktu mudhayyaq, yaitu pada
akhir waktu yang hanya sekadar cukup melaksanakan shalat. Melaksanakan shalat
pada waktu muwassa’ atau mudhayyaq, sama-sama sah. Monggo
kita pilih. Persoalannya, bukan sebatas sah atau tidaknya, tapi utama atau
tidaknya yang menjadi konsentrasi kita.
Tuhan sungguh tahu kondisi manusia dalam aktivitas kesehariannya.
Kenyataannya, kita sering dihadapkan oleh berbagai kesibukan. Toleransi Tuhan
pada manusia selaku hamba-Nya adalah memberikan waktu longgar untuk mengerjakan
shalat, terutama Zuhur dan Isyak, sehingga ada pilihan, apa mau mengerjakan di
awal, pertengahan atau di akhir waktu. Tapi kadang manusia semaunya sendiri dan
sok-sokan, bahkan lalai melaksanakan shalat, dan banyak yang berani
meninggalkannya. Kata-kata sumbing pun muncul—katanya sih—pada sebagian kalangan
aktivis ketika tidak sempat shalat, “Tuhan tahu bahwa saya sibuk.” Sok sibuk tak kepalang Anda Vis! Mau ke mana
Situ?
Kondisi yang memungkinkan untuk memilih waktu yang terbaik idealnya dapat
digunakan semaksimal mungkin. Itulah sebaik-baik hamba. Kecuali dalam kondisi
yang sulit dipaksa untuk bersegera melaksanakan shalat di awal waktu. Masih ada
kesempatan pada bentangan waktu pertengahan atau akhir. Saya kira kondisi itu
sah-sah saja dan tidak melanggar aturan secara fiqih maupun tasawuf. Itulah
sampel aktivitas spiritual manusia yang berhubungan dengan Tuhannya.
Selanjutnya, bersosial pun kita tidak boleh memandang dengan sebelah mata.
Harus sama-sama kita tegakkan secara mapan. Sebagai makhluk individu yang
memerlukan keseimbangan hidup dengan memangku diri sebagai makhluk Tuhan dalam
satu sisi, dan makhluk sosial dalam sisi yang lain, dua sisi tersebut hendaknya
selalu dilestarikan supaya kehidupan yang kita tempuh menjadi berimbang,
stabil, tidak oleng ke salah satu sisinya. Salah satu indikasi bahwa diri
manusia berkualitas, dapat dilihat dari jejak rekam kehidupan sosialnya. Bahkan
kualitas iman memiliki korelasi dengan kehidupan sosialnya. Bila iman seseorang
sehat maka hubungan sosialnya juga sehat, demikian juga sebaliknya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- قَالَ « مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا
أَوْ لِيَصْمُتْ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
». (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, berkatalah dengan baik atau
diam. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, muliakanlah tetangganya.
Dan, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, muliakanlah tamunya.” (HR. Muslim).
Hadits ini begitu benderang dan menukik dalam mengajarkan kepada kita untuk
mewujudkan keseimbangan imaniah (spiritual) dan sosial. Iman kepada Allah dan
hari akhir (kiamat) dinilai ideal bila dapat berbuat baik kepada orang lain
dari hal terkecil pun, seperti berbicara dengan baik, demikian juga bersikap
menghargai dan sejenisnya.
Menghargai orang lain begitu banyak ragamnya. Salah satunya, peduli, bermanis
muka, dan meringankan beban mereka sesuai kemampuan kita walau sekadar
menghiburnya atau memberi solusi atas problem yang dihadapinya sehingga rasa
galaunya hilang.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- « مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا
نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى
مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا
سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ
الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ . (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW
bersabda: “Barangsiapa melegakan perasaan galau orang mukmin dari kegalauan
perkara dunia, maka Allah akan melegakan kegalauannya dari kegalauan hari
kiamat. Barangsiapa memudahkan orang yang kesulitan, maka Allah akan
memudahkannya di dunia dan akhirat. Dan, barangsiapa menutupi (aib) orang
Islam, maka Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan akhirat. Allah menolong
seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim).
Terciptanya keseimbangan spiritual dan sosial secara sehat dan harmonis,
mengantarkan diri manusia hidup dalam keseimbangan sehingga hidupnya bergelimang
berkah dan kebahagiaan yang hakiki, bukan kepura-puraan. Wallah a’lam.
Sumenep, 04 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar