Minggu, 10 April 2016

PENULIS BAGAI SOPIR


M. Khaliq Shalha


Penulis adalah agen perubahan dengan produk pemikirannya yang tertuang dalam tulisan yang dipublikasikan. Penulis pula bagai sopir, dibutuhkan kehati-hatian ekstra dalam mengemudikan kendaraan. Jangan sampai ada korban gara-gara lalai dalam mengemudi. Risiko bagi seorang sopir adalah menabrak. Jika takut pada risiko jangan menjadi sopir. Jika semua orang takut pada risiko, tentu tidak akan ada kendaraan beroperasi. Orang tidak bisa sampai pada tujuan dengan cepat, demikian pula kebutuhan logistik tidak akan terangkut pada suatu tempat yang membutuhkan.

Dalam sebuah acara Debat Terbuka Forum Kiai Muda Jatim yang diselenggarakan oleh PP. Bumi Sholawat Sidoarjo, 20 Oktober 2009 dengan narasumber KH. Said Aqil Siradj versus KH. Abdullah Syamsul Arifin dan M. Idrus Romli, Ustaz Romli memberikan koreksi terhadap buku Pak Said, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, bahwa dalam buku tersebut terdapat kesalahan data. Tanggapan Pak Said santai saja. Beliau mengumpamakan penulis dengan sopir. Jika berani menyopir harus berani menanggung risiko. Risikonya menambrak. Jika takut menabrak, jangan menjadi sopir. Menulis ada kemungkinan salah. Tapi salah dalam menulis tetap bernilai ibadah, karena menulis tergolong beramal, kata beliau.

Dalam kesempatan tersebut, Pak Said mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Mengenai permintaan Ustaz Romli untuk menarik bukunya yang sudah beredar di pasaran, beliau tidak bersedia. Rupanya beliau takut rugi juga.

Risiko memang harus dihadapi dengan penuh kehati-hatian, bukan dengan keputusasaan. Berupaya untuk tidak timbul risiko itu wajib. Risiko karena faktor kelalaian dan kecerobohan tidak bisa dibenarkan. Menulis sesuai bidang kompetensi ibarat menyopir secara profesional. Kemungkinan kecelakaan ada, tapi minim. Penulis sekaleber KH. Said Aqil Siradj masih pernah melakukan kesalahan, apalagi kita. Cuma hal itu tidak bisa dijadikan pembenaran untuk tidak teliti. Apa yang kita tulis tetap harus memperhatikan akurasi data. Menulis dengan tema di luar kompetansi kita sangat berrisiko. Untuk menghindari kekeliruan data, membutuhkan jerih payah tak kepalang bahkan biaya besar, baik menulis fiksi maupun nonfiksi.

Menulis bidang agama, misalnya, memerlukan bekal yang cukup dalam memahami landasan agama. Paham terhadap dalil otoritas berupa Al-Qur’an dan hadits menjadi syarat mutlak. Tidak harus hapal keduanya memang. Minimal memahami secara tematik (maudhu’i) melalui tafsir-tafsir yang ditulis oleh ahlinya.

Menganalisa sebuah persoalan yang dikuatkan dengan dalil, hendaknya dalil yang digunakan harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulis harus merujuk pada sumber aslinya. Rujukan dalil pada Al-Qur’an sangat mudah diidentifikasi keakuratannya. Berbeda jika menggunakan hadits. Sangat sulit mengidentifikasinya, karena begitu banyak macam hadits yang berserakan dalam banyak kitab hadits.

Penulis jangan mudah memakai dalil hadits yang hanya didapat dari almanak, bungkus nasi, pamflet, baliho dan semacamnya. Penulis perlu mengecek ke sumber aslinya pada kitab-kitab hadits, baik di al-Kutub al-Sittah atau al-Kutub al-Tis’ah. Merujuk pada salah satu kitab tersebut bisa dilakukan secara manual atau digital. Menggunakan cara manual begitu berat rasanya dan sangat mahal biayanya. Bila tidak memilikinya, harus pergi ke perpustakaan yang memiliki koleksi kitab-kitab itu, atau membelinya dengan mengorbankan sekian banyak rupiah. Setelah berhasil mendapatkannya, dibutuhkan pula kemampuan membacanya, terutama versi alsinya, Arab, atau alternatifnya versi terjemahan.

Cara yang mudah adalah cara kedua, yaitu dengan cara digital. Seiring majunya teknologi modern yang merambah pada semua kebutuhan manusia, termasuk referensi agama. Beragam aplikasi telah diciptakan. Aplikasi Al-Qur’an dan terjehannya ada. Demikian pula kitab hadits tanpa terkecuali, bahkan kitab-kitab referensi lainnya. Aplikasi al-Maktabah al-Syamilah cukup praktis untuk mengakses dalil-dalil agama secara lengkap. Menggunakan aplikasi ini sangat mudah melacak apa yang dibutuhkan, asal bisa memahami bahasa Arab. Bila tidak paham bahasa Arab, alternatifnya menggunakan aplikasi yang dilengkapi dengan terjemahannya. Pada menu Play Store di smartphone, Anda cukup dimanjakan. Tinggal men-download-nya ragam aplikasi Al-Qur’an dan terjemahannya, begitu pula hadits dan terjemahannya.

Upaya merujuk pada sumber asli tersebut merupakan sebuah kewajiban bagi penulis sebagai agen perubahan supaya tidak “menyesatkan” pembaca. Atau, upaya menyelamatkan para penumpang agar tidak tersesat di tengah perjalanan, apalagi menjadi korban kecelakaan gara-gara sopirnya ugal-ugalan.

Lumrah terjadi salah kaprah dalam penggunaan dalil terkait akurasinya. Setidaknya ada dua hal yang perlu saya kemukakan. Pertama, kadung lumrah penggunaan dalil yang diklaim sebagai hadits padahal bukan hadits. Hal ini terjadi bukan hanya pada orang yang berpendidikan rendah, tapi juga pada orang yang berpendidikan tinggi namun kurang teliti, tidak sempat menelitinya atau faktor lain. Saya pernah mengikuti kuliah umum di Aula Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya waktu masih menjadi mahasiswa. Pematerinya dari Jakarta. Kalau tidak keliru, beliau menyampaikan kuliah tentang manajemen/pengembangan ekonomi. Dia menyitir sebuah hadits palsu (maudhu’) yang populer  kita dengar di mana-mana.

اُطْلُبُوالْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ
Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina.

Sontak teman-teman meledeki saya dengan maksud guyon, karena sebelum ada kuliah umum ini, saya lantang mengatakan kepada kawan dalam diskusi kelas yang menyitir tentang ungkapan ini bahwa ungkapan ini hadits palsu. Tapi saya memilih diam walau teman-teman menyuruh saya untuk angkat bicara. Saya mengambil sikap toleransi, khawatir jika saya berkomentar bisa mempermalukan beliau di depan mahasiswa. Hal itu tidak baik. Saya cuma mengambil hikmah bahwa saya harus berhati-hati dalam menggunakan dalil untuk memperkuat argumentasi atau motivasi untuk anak didik dan publik secara umum.

Secara makna, ungkapan itu tidak ada masalah. Persoalannya bukan pada aspek makna, tapi pelabelannya pada Nabi SAW, padahal bukan sabda beliau. Saya teringat dengan ungkapan Almarhum KH Ishamuddin Abdullah Sajjad (Pengasuh PP. Annuqayah, guru hadits saya) waktu saya mengaji hadits Shahih al-Bukhari kepada beliau, bahwa ungkapan tentang menuntut ilmu ke negeri Cina itu tidak ditemukan dalam al-Kutub al-Sittah bahkan juga dalam al-Kutub al-Tis’ah. Pencariannya pun sudah menggunakan digital. Saya pernah membaca kitab al-Maudhu’at, ternyata ungkapan itu tergolong hadits palsu.

Para penulis dan juga penceramah membutuhkan akurasi data dalil. Mana yang hadits dan mana yang bukan. Perlu melakukan penelitian terlebih dahulu sebagai tanggung moral pada publik supaya tidak membohongi mereka. Kejujuran ilmiah itu wajib. Mengatakan sesuatu atas nama Nabi SAW, padahal bukan dari beliau, ada risikonya. Menguatkan argumentasi dengan dalil, tapi dengan cara mengada-ada, sama sekali tidak bisa ditolerir.

عَنْ سَلَمَةَ قَالَ  : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ ( مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لمَ ْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ) . (رواه البخارى) .
Dari Salamah berkata: ‘Saya mendengar Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa berkata atas nama saya, padahal saya belum pernah mengatakannya, maka bersiaplah tempatnya dari api  neraka.”’ (HR. Bukhari).

قَالَ الْمُغِيرَةُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ». (رواه مسلم) .
Al-Mughirah berkata: ‘Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dusta atas nama saya, tidak seperti dusta atas nama orang biasa. Maka, barangsiapa dusta atas nama saya secara sengaja, bersiaplah tempatnya dari api neraka.”’ (HR. Muslim).

Kedua,  istilah “al-ayah” dan “al-hadits” yang dimaksudkan sebagai sumber kutipannya. Mengakhiri sebuah ungkapan dengan kata al-ayah, berarti apa yang dikutip adalah Al-Qur’an, sedangkan al-hadits, maksudnya yang dikutip sabda Nabi SAW. Ungkapan al-ayah lebih sering digunakan dalam bahasa lisan oleh penata acara (MC), atau penceramah. Semestinya kata itu dimaksudkan sebagai pertanda kepada pembaca/pendengar bahwa ayat atau hadits yang dikutip itu cuma sepenggal dan masih ada kelanjutannya. Hal itu lazim digunakan dalam kitab-kitab. Mengatakan al-ayah setelah membaca sepenggal ayat, berarti dan seterusnya.

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ..... (١٨٧)
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu.....”  (QS. Al-Baqarah [02]: 187).

Titik-titik tersebut yang dimaksud al-ayah. Ayat itu hanya sepenggal yang disampaikan, dan masih panjang terusannya. Bisa Anda cek sendiri. Jika Anda hanya mengungkapkan sepenggal ayat tersebut, pantas Anda mengakhirnya dengan kata al-ayah. Perlu diingat baik-baik, bila Anda mengungkapkan satu ayat secara sempurna dengan tema yang sempurna pula, tak perlu diakhiri dengan al-ayah, apalagi ayat di akhir surat, misal di akhir surat Al-Baqarah. Sangat tidak perlu. Supaya tidak ditertawakan orang yang mengerti itu. Mau meneruskan ayat yang mana, wong sudah tuntas. Mujur tak dibilang, “mau khataman atau ceramah orang ini?” Lebih-lebih surat terakhir pada juz 30. Saya sangat merekomendasikan untuk tidak mengakhirinya dengan al-ayah, mendingan menutupnya dengan shadaqallahul azhim. Sangat ironis dan lucu bila itu terjadi, karena tidak ada juz 31 dalam Al-Qur’an.

Sedangkan kata al-hadits sering digunakan dalam bahasa tulis dengan maksud bahwa apa yang dikutip itu merupakan sabda Nabi SAW. Kita sering melihat begini: “................” (al-Hadits). Kata ini dimaksudkan sebagai pengganti periwayat terakhir atau mukharrij (peneliti hadits), seperti Imam Bukhari, Imam Muslim atau lainnya, tapi secara anonim, tidak disebutkan secara pasti, siapa periwayatnya. Sebaiknya, menurut saya, disebutkan lebih awal bahwa itu hadits, dengan mengatakan: Rasulullah SAW bersabda: “................”.

Bahasa tulis risikonya lebih besar ketimbang bahasa lisan. Bahasa tulis akan lebih awet keberadaannya, sedangkan bahasa lisan sekali diucapkan, orang-orang mungkin sudah banyak yang lupa. Maka, akurasi dalil jangan sampai disepelekan sebagai tanggung jawab ilmiah. Wallah a’lam.

Sumenep, 10 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar