M. Khaliq Shalha
Penulis adalah agen perubahan dengan produk pemikirannya yang tertuang
dalam tulisan yang dipublikasikan. Penulis pula bagai sopir, dibutuhkan
kehati-hatian ekstra dalam mengemudikan kendaraan. Jangan sampai ada korban
gara-gara lalai dalam mengemudi. Risiko bagi seorang sopir adalah menabrak.
Jika takut pada risiko jangan menjadi sopir. Jika semua orang takut pada risiko,
tentu tidak akan ada kendaraan beroperasi. Orang tidak bisa sampai pada tujuan
dengan cepat, demikian pula kebutuhan logistik tidak akan terangkut pada suatu
tempat yang membutuhkan.
Dalam sebuah acara Debat Terbuka Forum Kiai Muda Jatim yang diselenggarakan
oleh PP. Bumi Sholawat Sidoarjo, 20 Oktober 2009 dengan narasumber KH. Said Aqil
Siradj versus KH. Abdullah Syamsul Arifin dan M. Idrus Romli, Ustaz Romli memberikan
koreksi terhadap buku Pak Said, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, bahwa
dalam buku tersebut terdapat kesalahan data. Tanggapan Pak Said santai saja.
Beliau mengumpamakan penulis dengan sopir. Jika berani menyopir harus berani
menanggung risiko. Risikonya menambrak. Jika takut menabrak, jangan menjadi
sopir. Menulis ada kemungkinan salah. Tapi salah dalam menulis tetap bernilai
ibadah, karena menulis tergolong beramal, kata beliau.
Dalam kesempatan tersebut, Pak Said mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
Mengenai permintaan Ustaz Romli untuk menarik bukunya yang sudah beredar di
pasaran, beliau tidak bersedia. Rupanya beliau takut rugi juga.
Risiko memang harus dihadapi dengan penuh kehati-hatian, bukan dengan
keputusasaan. Berupaya untuk tidak timbul risiko itu wajib. Risiko karena faktor
kelalaian dan kecerobohan tidak bisa dibenarkan. Menulis sesuai bidang
kompetensi ibarat menyopir secara profesional. Kemungkinan kecelakaan ada, tapi
minim. Penulis sekaleber KH. Said Aqil Siradj masih pernah melakukan kesalahan,
apalagi kita. Cuma hal itu tidak bisa dijadikan pembenaran untuk tidak teliti.
Apa yang kita tulis tetap harus memperhatikan akurasi data. Menulis dengan tema
di luar kompetansi kita sangat berrisiko. Untuk menghindari kekeliruan data,
membutuhkan jerih payah tak kepalang bahkan biaya besar, baik menulis fiksi
maupun nonfiksi.
Menulis bidang agama, misalnya, memerlukan bekal yang cukup dalam memahami
landasan agama. Paham terhadap dalil otoritas berupa Al-Qur’an dan hadits
menjadi syarat mutlak. Tidak harus hapal keduanya memang. Minimal memahami
secara tematik (maudhu’i) melalui tafsir-tafsir yang ditulis oleh
ahlinya.
Menganalisa sebuah persoalan yang dikuatkan dengan dalil, hendaknya dalil
yang digunakan harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulis harus
merujuk pada sumber aslinya. Rujukan dalil pada Al-Qur’an sangat mudah
diidentifikasi keakuratannya. Berbeda jika menggunakan hadits. Sangat sulit
mengidentifikasinya, karena begitu banyak macam hadits yang berserakan dalam
banyak kitab hadits.
Penulis jangan mudah memakai dalil hadits yang hanya didapat dari almanak,
bungkus nasi, pamflet, baliho dan semacamnya. Penulis perlu mengecek ke sumber
aslinya pada kitab-kitab hadits, baik di al-Kutub al-Sittah atau al-Kutub
al-Tis’ah. Merujuk pada salah satu kitab tersebut bisa dilakukan secara
manual atau digital. Menggunakan cara manual begitu berat rasanya dan sangat
mahal biayanya. Bila tidak memilikinya, harus pergi ke perpustakaan yang memiliki
koleksi kitab-kitab itu, atau membelinya dengan mengorbankan sekian banyak
rupiah. Setelah berhasil mendapatkannya, dibutuhkan pula kemampuan membacanya,
terutama versi alsinya, Arab, atau alternatifnya versi terjemahan.
Cara yang mudah adalah cara kedua, yaitu dengan cara digital. Seiring
majunya teknologi modern yang merambah pada semua kebutuhan manusia, termasuk
referensi agama. Beragam aplikasi telah diciptakan. Aplikasi Al-Qur’an dan
terjehannya ada. Demikian pula kitab hadits tanpa terkecuali, bahkan
kitab-kitab referensi lainnya. Aplikasi al-Maktabah al-Syamilah cukup
praktis untuk mengakses dalil-dalil agama secara lengkap. Menggunakan aplikasi
ini sangat mudah melacak apa yang dibutuhkan, asal bisa memahami bahasa Arab.
Bila tidak paham bahasa Arab, alternatifnya menggunakan aplikasi yang
dilengkapi dengan terjemahannya. Pada menu Play Store di smartphone, Anda cukup
dimanjakan. Tinggal men-download-nya ragam aplikasi Al-Qur’an dan
terjemahannya, begitu pula hadits dan terjemahannya.
Upaya merujuk pada sumber asli tersebut merupakan sebuah kewajiban bagi
penulis sebagai agen perubahan supaya tidak “menyesatkan” pembaca. Atau, upaya
menyelamatkan para penumpang agar tidak tersesat di tengah perjalanan, apalagi
menjadi korban kecelakaan gara-gara sopirnya ugal-ugalan.
Lumrah terjadi salah kaprah dalam penggunaan dalil terkait akurasinya.
Setidaknya ada dua hal yang perlu saya kemukakan. Pertama, kadung lumrah
penggunaan dalil yang diklaim sebagai hadits padahal bukan hadits. Hal ini
terjadi bukan hanya pada orang yang berpendidikan rendah, tapi juga pada orang
yang berpendidikan tinggi namun kurang teliti, tidak sempat menelitinya atau
faktor lain. Saya pernah mengikuti kuliah umum di Aula Pascasarjana IAIN
(sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya waktu masih menjadi mahasiswa. Pematerinya dari
Jakarta. Kalau tidak keliru, beliau menyampaikan kuliah tentang manajemen/pengembangan
ekonomi. Dia menyitir sebuah hadits palsu (maudhu’) yang populer
kita dengar di mana-mana.
اُطْلُبُوالْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ
Tuntutlah ilmu walau ke negeri
Cina.
Sontak teman-teman meledeki saya
dengan maksud guyon, karena sebelum ada kuliah umum ini, saya lantang
mengatakan kepada kawan dalam diskusi kelas yang menyitir tentang ungkapan ini
bahwa ungkapan ini hadits palsu. Tapi saya memilih diam walau teman-teman
menyuruh saya untuk angkat bicara. Saya mengambil sikap toleransi, khawatir
jika saya berkomentar bisa mempermalukan beliau di depan mahasiswa. Hal itu tidak baik. Saya cuma mengambil hikmah bahwa saya harus berhati-hati dalam
menggunakan dalil untuk memperkuat argumentasi atau motivasi untuk anak didik dan
publik secara umum.
Secara makna, ungkapan itu tidak ada masalah. Persoalannya bukan pada aspek
makna, tapi pelabelannya pada Nabi SAW, padahal bukan sabda beliau. Saya
teringat dengan ungkapan Almarhum KH Ishamuddin Abdullah Sajjad (Pengasuh PP.
Annuqayah, guru hadits saya) waktu saya mengaji hadits Shahih al-Bukhari
kepada beliau, bahwa ungkapan tentang menuntut ilmu ke negeri Cina itu tidak
ditemukan dalam al-Kutub al-Sittah bahkan juga dalam al-Kutub
al-Tis’ah. Pencariannya pun sudah menggunakan digital. Saya
pernah membaca kitab al-Maudhu’at, ternyata ungkapan itu tergolong hadits
palsu.
Para penulis dan juga penceramah membutuhkan akurasi data dalil. Mana yang
hadits dan mana yang bukan. Perlu melakukan penelitian terlebih dahulu sebagai tanggung moral pada publik supaya tidak membohongi mereka. Kejujuran ilmiah itu
wajib. Mengatakan sesuatu atas nama Nabi SAW, padahal bukan dari beliau, ada
risikonya. Menguatkan argumentasi dengan dalil, tapi dengan cara mengada-ada,
sama sekali tidak bisa ditolerir.
عَنْ سَلَمَةَ قَالَ
: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ ( مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ
مَا لمَ ْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ) . (رواه البخارى) .
Dari Salamah berkata: ‘Saya mendengar Nabi SAW
bersabda: “Barangsiapa berkata atas nama saya, padahal saya belum pernah
mengatakannya, maka bersiaplah tempatnya dari api neraka.”’ (HR. Bukhari).
قَالَ الْمُغِيرَةُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- يَقُولُ « إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ
عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ». (رواه مسلم) .
Al-Mughirah berkata: ‘Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya dusta atas nama saya, tidak seperti dusta atas nama
orang biasa. Maka, barangsiapa dusta atas nama saya secara sengaja, bersiaplah
tempatnya dari api neraka.”’ (HR. Muslim).
Kedua, istilah “al-ayah” dan “al-hadits”
yang dimaksudkan sebagai sumber kutipannya. Mengakhiri sebuah ungkapan dengan
kata al-ayah, berarti apa yang dikutip adalah Al-Qur’an, sedangkan al-hadits,
maksudnya yang dikutip sabda Nabi SAW. Ungkapan al-ayah lebih sering
digunakan dalam bahasa lisan oleh penata acara (MC), atau penceramah.
Semestinya kata itu dimaksudkan sebagai pertanda kepada pembaca/pendengar bahwa
ayat atau hadits yang dikutip itu cuma sepenggal dan masih ada kelanjutannya. Hal
itu lazim digunakan dalam kitab-kitab. Mengatakan al-ayah setelah
membaca sepenggal ayat, berarti dan seterusnya.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى
نِسَائِكُمْ ..... (١٨٧)
“Dihalalkan bagi kamu
pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu.....” (QS. Al-Baqarah [02]: 187).
Titik-titik tersebut yang dimaksud al-ayah. Ayat itu hanya sepenggal
yang disampaikan, dan masih panjang terusannya. Bisa Anda cek sendiri. Jika
Anda hanya mengungkapkan sepenggal ayat tersebut, pantas Anda mengakhirnya
dengan kata al-ayah. Perlu diingat baik-baik, bila Anda mengungkapkan
satu ayat secara sempurna dengan tema yang sempurna pula, tak perlu diakhiri
dengan al-ayah, apalagi ayat di akhir surat, misal di akhir surat
Al-Baqarah. Sangat tidak perlu. Supaya tidak ditertawakan orang yang mengerti
itu. Mau meneruskan ayat yang mana, wong sudah tuntas. Mujur tak
dibilang, “mau khataman atau ceramah orang ini?” Lebih-lebih surat terakhir
pada juz 30. Saya sangat merekomendasikan untuk tidak mengakhirinya dengan al-ayah,
mendingan menutupnya dengan shadaqallahul azhim. Sangat ironis dan
lucu bila itu terjadi, karena tidak ada juz 31 dalam Al-Qur’an.
Sedangkan kata al-hadits sering digunakan dalam bahasa tulis dengan
maksud bahwa apa yang dikutip itu merupakan sabda Nabi SAW. Kita sering melihat
begini: “................” (al-Hadits). Kata ini dimaksudkan sebagai
pengganti periwayat terakhir atau mukharrij (peneliti hadits), seperti
Imam Bukhari, Imam Muslim atau lainnya, tapi secara anonim, tidak disebutkan
secara pasti, siapa periwayatnya. Sebaiknya, menurut saya, disebutkan lebih
awal bahwa itu hadits, dengan mengatakan: Rasulullah SAW bersabda: “................”.
Bahasa tulis risikonya lebih besar ketimbang bahasa lisan. Bahasa tulis akan
lebih awet keberadaannya, sedangkan bahasa lisan sekali diucapkan, orang-orang mungkin
sudah banyak yang lupa. Maka, akurasi dalil jangan sampai disepelekan sebagai
tanggung jawab ilmiah. Wallah a’lam.
Sumenep, 10 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar