Sabtu, 09 April 2016

NGE-BLOG SEBAGAI INVESTASI JANGKA PANJANG


M. Khaliq Shalha



Tulisan akan lebih awet ketimbang umur penulisnya. Sejarah sudah membuktikan dengan nyata. Para penulis zaman dahulu masih tetap dikenang berkat karya-karyanya. Karya zaman ulama mazhab, misalnya, al-Muwaththa’ oleh Imam Malik (94-179 H./714-795 M.), dan al-Risalah oleh Imam Syafi’i (150-204/ H./767-795 M.), masih tetap aktual keberadaannya.

Pada era penelitian hadits—sekitar setengah abad setelah Imam Syafi’i—banyak hasil penelitian yang diperoleh. Dalam perspektif kalangan Sunni, ada enam kitab hadits yang dianggap standar (mu’tabarah) yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah (Kitab yang Enam) dengan metodologi ilmiah yang kritis. Secara berturut-turut, berdasarkan tingkat otoritasnya sebagai berikut: al-Jami’ al-Shahih (Shahih al-Bukhari) oleh Imam Bukhari (196-256 H./810-870 M.), Shahih Muslim oleh Imam Muslim (202-261 H./817-875 M.), Sunan Ibn Majah oleh Ibn Majah (wafat 275 H./886 M.), Sunan Abi Daud oleh Imam Abu Daud (wafat 275-888 M), Sunan al-Tirmidzi oleh Imam Tirmidzi (wafat 279 H./892 M.), dan Sunan al-Nasa’i oleh Imam Nasa’i (wafat 303 H./915 M.).

Berlanjut pada masa setelahnya, Imam Ghazali (450-505H./1058-1111 M.) sebagai penulis produktif pada zamannya, sekian banyak kitab yang ia hasilkan dari beberapa disiplin ilmu. Salah satu karyanya yang monumental ialah Ihya’ ‘Ulumiddin. Ulama asal Indonesia, Imam Nawawi al-Jawi al-Bantani (1813-1897 M.) juga tergolong penulis produktif dalam beberapa disiplin ilmu. Karyanya sekitar 115 kitab.  Di antaranya, Kasyifah al-Saja.

Itulah sedikit contoh dari sekian banyak karya tulis yang dihasilkan pada masa lampau yang eksistensinya tetap hidup hingga kini. Mereka adalah para pendahulu yang menginspirasi kita untuk menapaki jejak-jejaknya guna mengembangkan ilmu yang disumbangkan mereka pada kehidupan. Mengikuti jejaknya, berarti berupaya mengantarkan kita untuk juga bisa eksis secara abadi dengan karya-karya yang kita hasilkan, sekalipun ajal telah menjemput kita nanti.

Jika kita menelisik kondisi zaman mereka terkait dengan alat tulis yang mereka gunakan sangat sederhana, dengan cara sederhana, ditulis tangan dengan tinta celup, tapi tidak menjadi halangan bagi mereka untuk mengabadikan pemikirannya guna memberi pencerahan pada umat kala itu dan sesudahnya. Berbeda dengan era sekarang. Alat tulis sudah begitu canggih, instan, digital pula. Hadirnya produk komputer, laptop dan sejenisnya akan menambah produktif bila bisa dimanfaatkan dengan baik. Di samping itu pula, publikasi tulisan sangat mudah dilakukan, baik secara cetak maupun elektronik.

Menerbitkan buku, misalnya, bisa melalui penerbit mayor, yaitu penerbit profesional yang sanggup membayar penulisnya dengan prosentase tertentu dari hasil penjualannya yang pemasarannya dilakukan oleh penerbitnya sendiri. Bisa pula secara indie, yaitu diterbitkan dengan biaya sendiri dan dijual sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain. Tipe yang terakhir ini sifatnya borongan. Tulisan yang lebih sederhana dapat diterbitkan secara elektronik melalui situs internet. Banyak ragam yang bisa digunakan. Bisa melalui blog, facebook atau lainnya.

Menimbang dari dua hal berbeda antara tempo dulu dengan sekarang, produktif atau tidaknya seseorang, bukan ditentukan oleh kondisi alat tulis yang ada, tapi oleh keinginan masing-masing individu, di samping faktor lingkungan. Secanggih apapun alat tulis yang tersedia dan semudah apapun media publikasi, tapi tanpa ada kemauan keras, tak akan tercipta produktifitas menulis. Oleh karena itu, sumber motivasi menulis perlu kita cari, temukan dan miliki sehingga mendorong kita untuk aktif menulis dengan konten yang mengandung kemanfaatan bagi orang banyak.

Salah satu sumber motivasi yang perlu saya kemukakan dalam tulisan ini adalah bahwa karya tulis merupakan bentuk amal jariah bagi penulisnya. Amal yang selalu berbuah pahala selama tulisan tersebut dikonsumsi oleh orang lain, sekalipun penulisnya sudah wafat.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ ». (رواه مسلم)  .
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila manusia mati, terputus amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).

Dalam hadits tersebut, ada tiga  komponen yang tergolong amal jariah, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya. Bagaimana dengan karya tulis, apakah termasuk pada ketiga-tiganya? Ya, dengan catatan niat penulisnya harus sahih.

Mari kita analisa dengan santai. Pertama, karya tulis termasuk sedekah jariah bila dipublikasikan secara umum hingga dapat dinikmati orang lain. Setiap karya tulis yang digelontorkan ke publik, maka ia menjadi milik publik. Tanpa terkecuali, tulisan dimaksud apa sudah mendapat honor dari pihak penerbit, jika diterbitkan oleh penerbit mayor. Apakah tulisan itu sudah menghasilkan laba, bila diterbitkan secara indie (pribadi). Jadi, niat sangat menentukan. Bila keliru niat, maka sebatas apa yang diniatkan yang ia peroleh. Misalnya, buku yang diterbitkan dengan tujuan mendapat keuntungan finansial semata, tentu hasilnya sekadar mendapat materi yang mungkin hanya bisa dinikmati sebulan dua bulan. Tapi, jika tujuan utamanya dakwah (berbagi ilmu), maka keuntungannya berlipat ganda. Selain mendapatkan pahala tak terhingga, juga mendapat keuntungan materi dari hasil penjualan buku tersebut. Ada bedanya era ulama mazhab dulu dengan sekarang dalam menghasilkan buku. Kalau dulu sebagai dakwah atau pengembangan ilmu semata, sedangkan sekarang bisa multiniat. Di samping dakwah, juga untuk mendapat honor atau motif lainnya, misal popularitas dan sebagainya. Beda zaman beda kondisi, beda kepentingan pula. Tidak menjadi soal, yang penting niat dakwah yang pertama dan utama.

Kedua, karya tulis tergolong ilmu yang bermanfaat, namun tergantung konten yang ditulis, apa mengandung maslahat atau justru mafsadat. Lazimnya karya tulis bukan sekadar apa yang bisa ditulis, tetapi apa yang penting dan bermanfaat untuk ditulis, apapun jenis konten tulisannya. Hal inilah yang perlu diperhatikan supaya apa yang kita lalukan tidak membuang-buang energi percuma. Pesan moral dalam tulisan yang menjadi fokus prioritas sebelum mengeksekusi tulisan. Dalam bahasa yang lain, tulisan yang kita garap hendaknya mengandung amar makruf nahi mungkar dalam arti luas sehingga membawa perubahan positif pada publik.

Ketiga, secara tersirat dari hadits tersebut, karya tulis tergolong pula amal jariah yang ketiga. Pemaknaan anak saleh yang mendoakan orang tua perlu kita mekarkan sehingga yang dimaksud anak bukan semata anak secara biologis, tapi juga secara genetika keilmuan. Penulis adalah abun fi al-ruh (ayah rohani). Murid, santri dan pembaca karya tulis kita adalah anak kita secara keilmuan. Kita berhak mendapat balas budi doa mereka. Sudah menjadi khazanah kita, umat Islam Nusantara khususnya yang saya tahu, setiap kita akan memulai istigasah, dalam khususan al-Fatihah, mushannifin (para penulis) mendapat jatah doa al-Fatihah. Setelah berkirim al-Fatihah kepada Nabi SAW beserta keluarga, sahabatnya dan tabiin bagian pertama, undagan (urutan) al-Fatihah kedua di antara redaksinya :



ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ الْأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالْمُصَنِّفِيْنَ , إِنَّ اللّهَ يُقَدِّسُ أَرْوَاحَهُمْ فِى الْجَنَّةِ وَيُعْلِى دَرَجَاتِهِمْ فِيْهَا وَيُعِيْدُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِمْ وَعُلُوْمِهِمْ فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ . اَلْفَاتِحَة َ .
Kemudian, untuk roh para imam mujtahid, wali Allah, syuhada, ulama, orang-orang saleh, dan para penulis. Semoga Allah benar-benar akan menyucikan roh mereka di surga, mengangkat derajatnya di dalamnya, dan semoga berkah serta ilmu-ilmu mereka tercurahkan kepada kami dalam urusan agama, dunia dan akhirat. al-Fatihah.

Doa seperti ini populer di kalangan umat Islam, baik ia sebagai pemimpin umat, santri atau umat pada umumnya, selalu mendoakan para penulis dalam setiap kesempatan ketika akan memulai istigasah.

Menulis pada prinsipnya adalah berinvestasi jangka panjang, yaitu sebagai amal jariah. Target jangka panjang inilah jangan sampai kita lalaikan gara-gara menarget tujuan jangka pendek berupa keuntungan materi sesaat serta popularitas. Sekali lagi, kembali pada niat. Jangka panjang bila dapat diraih, kemungkinan besar jangka pendek mudah dicapai. Belum tentu jangka panjang akan digapai bila hanya target jangka pendek yang diinginkan.

Sudah klir pemetaan tujuan kita menulis: jangka pendek dan jangka panjang. Selanjutnya, bentuk apa saja yang akan kita eksekusi dalam menelorkan tulisan selain buku, sebagaimana telah disinggung di atas? Banyak macamnya. Bentuk yang lebih sederhana dari buku yang publikasinya terkait dengan pihak lain, misalnya menulis opini dan sejenisnya di surat kabar. Ragam lain yang lebih ringan dan tidak terkait dengan orang lain dalam publikasinya adalah menulis blog pribadi. Di samping itu, tulisan di blog lebih awet ketimbang dipublikasikan di surat kabar cetak, mudah dilakukan dan murah.

Blog memiliki sisi positif yang sangat berharga. Pertama, sebagai media latihan guna mengasah kemampuan kita dalam merangkai kata secara baik dan benar dalam menuangkan gagasan yang kita miliki. Kapan saja kita sempat, kita bisa melakukannya, bahkan menulis di blog dapat diumpamakan dengan menikmati camilan ketika kita punya waktu senggang.

Kedua, bisa memiliki banyak pembaca, baik secara aktif dengan memberikan komentar atau semi aktif, sekadar membaca. Suatu saat nanti, Anda akan dibutuhkan orang untuk mengisi pelatihan literasi, misalnya.

Ketiga, tulisan yang terkumpul dalam blog bisa awet, lebih awet dari umur penulisnya, dan sewaktu-waktu dapat dijadikan buku, baik atas inisiatif sendiri atau orang lain. Bila kumpulan tulisan dapat dibuat buku, maka takdir tulisan tersebut bisa awet plus.

Prof. Imam Suprayogo, waktu menjabat Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, beliau pemegang Rekor MURI Konsistensi Menulis di Blog Selama 3 Tahun Tanpa Jeda, sejak 16 Juni 2008–15 Juni 2011. Tak berlebihan bila ada yang menyebutnya Rektor Jago Nge-blog. Sampai saat ini beliau tetap istikamah mengisi blog-nya. Seharusnya pihak MURI memperbaharui catatan rekornya. Sudah ribuan tulisan yang beliau unggah. Anda bisa melihat sendiri di blog beliau lengkap dengan statistik pembaca dan komentarnya. Sebagian artikelnya ada yang sudah dibukukan.

Keempat, publikasinya sangat mudah dan jangkauannya mengglobal sehingga mudah dibuka di mana saja oleh siapa saja. Tulisan di blog dapat di-share (bagikan) lewat facebook yang kita miliki guna menyebarkan manfaat pada publik secara terbuka. Membagikan tulisan lewat jejaring sosial bukan lantas dimaknai riya' (pamer), tetapi merupakan bentuk kewajiban. Menyembunyikan ilmu ancamannya berat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَتَمَ عِلْمًا يَعْلَمُهُ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَجَّمًا بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ (رَوَاهُ أَحْمَدُ) .
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa menyembunyikan ilmu yang ia ketahuinya, maka orang itu di hari kiamat datang dalam keadaan dibelenggu dengan belenggu api neraka.” (HR. Ahmad).

Dari uraian tersebut cukup jelas. Nge-blog selain memiliki tujuan jangka pendek, juga memiliki tujuan jangka panjang sebagai investasi yang sangat berharga. Wallah a’lam.


Sumenep, 09 April 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar